KH. A. Dahlan, Sosok Sufi Pencinta Tahlilan

“Meskipun sedemikian kentalnya napas Muhammadiyah berembus di dalam darah. Tapi tetap saya peluk mereka yang NU. Dan siapa pun mereka, yang mengamalkan tahlilan itu.”

 

Tulisan ini untuk sebagian warga Muhammadiyah. Yang agak gimana gitu, saat melihat saudaranya yang NU melakukan tahlilan. Sekaligus membuka sebagian cerita tentang A. Dahlan, yang selama ini disembunyikan.

KH. Sholeh Darat adalah salah satu guru A. Dahlan. Beliau berasal dari Semarang. Sehingga ada juga yang menyebutnya KH. Sholeh Darat Semarang atau Syekh Sholeh Darat Semarang. Sama aja.

Syekh Sholeh Darat adalah ulama besar. Pernah belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah selama bertahun-tahun. Beliau juga gurunya RA. Kartini. Yang mengabulkan permintaan Kartini, agar Alquran diterjemahkan dan ditafsirkan ke dalam bahasa lokal. Untuk kali pertama di Nusantara.

Syekh Shaleh Darat lah yang akhirnya mengajari tafsir surat Alfatiha pada Kartini. Yang kelak, menjadi dasar lahirnya kutipan sakral “Habis gelap, terbitlah terang”. Selengkapnya baca di sini. 

Dua tahun A. Dahlan belajar pada Syekh Sholeh Darat. Mulai dari  fikih Syafi’i, hadis, tafsir, dan tasawuf serta cabang ilmu bahasa Arab. Juga belajar kitab Lathaif ath-Thaharah, Al Hikam, dan AlMunjiyyat karya Syekh Sholeh Darat sendiri.

Selain A. Dahlan, ada pula Hasyim Asy’ari yang juga belajar pada Syekh Sholeh Darat. Dahlan berusia 16 tahun dan namanya masih Muhammad Darwis. Sedangkan Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Mereka tinggal satu kamar.

Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Mas Darwis”.

Di sini dapat dilihat. Keduanya memiliki satu sumber guru dengan amaliah ubudiyah yang sama. Selain memang keduanya bernasab sama yaitu dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Catat. Nasab sama, tinggal di kamar yang sama, pesantren yang sama, guru yang sama, dan mengamalkan pengajaran yang sama.

Sehingga wajar. Bila praktik seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan, sholawatan, qunut saat salat subuh, tarawih 20 rakaat, penyebutan sayyid, adalah bukan barang baru bagi keduanya.

Karena ya memang itu yang diajarkan oleh guru mereka, Syekh Sholeh Darat. Apalagi Muhammad Darwis dan Hasyim Asy’ari sama-sama merupakan keturunan ahli tasawuf yang membangun budaya Tahlil. Yaitu salah satu wali yang menyebarkan agama di Jawa dan Nusantara.

Selepas belajar di pesantren Syekh Sholeh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah. Tempat di mana Syekh Sholeh Darat pernah menimba ilmu. Tentu saja, Syekh Sholeh Darat sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus memberi referensi, ulama-ulama mana saja yang harus didatangi.

Sebelum berangkat, Muhammad Darwis mengadakan tahlian dan membaca Al-Barjani (dibaan) di kediamannya. Sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT. Sekaligus minta doa pada saudara dan tetangga.

Dalam hal ini, bukan berarti Darwis telah tersesat dengan amalannya. Ahli bid’ah atau amalan yang mengada-ngada. Bukan.

Di Makkah, salah satu guru mereka berdua adalah As-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi. Ulama besar yang bermazhab Syafi’i. Yaitu seorang ulama yang mengajar di Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah.

Hampir setiap santri yang datang dari Nusantara selalu mengambil ilmu dari beliau. Termasuk Muhammad Darwis dan Hasyim Asaary. As-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi inilah yang kelak mengubah nama Muhammad Darwis menjadi KH. Ahmad Dahlan.

Muhammad Darwis benar-benar menjadi santri sejati As-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi.  Wajar, jika dirinya juga menjalankan mazhab Syafi’i dalam ibadahnya sehar-hari. Seperti qunut subuh, tarawih 20 rakaat dan lain-lain. Maulidan, tahlilan, juga adalah satu di antara tradisi yang sudah dilakukannya sebelum  berangkat ke Tanah Suci.

Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktik ibadah seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara di sana.

Hampir semua karya-karya Syekh Muhammad Yasin al-Faddani, Syekh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syekh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, termasuk Muhammad Darwis dan Hasyim Asy’ari.

Seusai pulang dari Makkah, Muhammad Darwis dan Hasyim Asy’ari mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah.

Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi KH. Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama).

Keterangan Ganbar : KH. A. Dahlan & KH. Hasyim Asy’ari

Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun keduanya sejak mereka menjadi santri Syekh Sholeh Darat. Hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. lalu kembali lagi ke pangkuan ibu pertiwi. Keduanya membuktikan, tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan mazhabnya.

Dan … buatmu sebagian warga Muhammadiyah. Yang gemar mencela dan mengata-ngatai saudaramu yang NU saat mereka mengamalkan tahlilan dan lainnya. Lalu dirimu menyebut hal itu sebagai amalan bid’ah, musyrik, sesat, dan lain sebagainya.

Itu artinya, dirimu telah mencela dan menyesat-nyesatkan amalan KH. Ahmad Dahlan. Pendiri Muhammadiyah itu sendiri. Karena hingga wafatnya, KH. Ahmad Dahlan mengamalkan itu semua. Sufi sejati pencinta tahlilan.

Saya sendiri, sejak kecil lahir di keluarga dengan lingkup Muhammadiyah. Bahkan almarhum kakek, sebelum meninggalnya cuma menitipkan satu pesan, “Jangan sampai saya ditahlilkan jika meninggal. Juga jangan ada tabur bunga di mana pun,” begitu wasiatnya. Saking kuat memegang prinsip Kemuhammadiyahannya.

Dalam tubuh saya, mengalir deras napas Muhammadiyah. Juga pemikiran-pemikiran pembaruan KH. Ahmad Dahlan. Sangat mengaguminya. Sampai-sampai setiap ke Jogjakarta, saya selalu menyempatkan diri untuk berziarah ke makamnya.

TPQ dan SD saya di yayasan milik Muhammadiyah. SMP sampai SMA pun di Muhammadiyah. Menjadi Ketua OSIS di level keduanya. Di lingkup Muhammadiyah disebut juga dengan nama IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah). Selain itu, saya juga aktif di Pimpinan Daerah IPM. Di salah satu kabupaten di Jawa Barat. Hingga kuliah.

Meskipun sedemikian kentalnya napas Muhammadiyah berembus di dalam darah, tapi tetap saya peluk mereka yang NU. Dan siapa pun mereka, yang mengamalkan tahlilan itu.  

Satu saja alasannya. Sebab, kita semua sama. Kita semua bersaudara.

Jangan mau dipecah-belah. Dan, enggak perlu mempeributkannya kembali apalagi menjadikannya masalah. Kita semua bersaudara!

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.