Kalau Sekadar Latah, Pakai Bahasa Indonesia Saja!

“Jangan tanggung jika ingin menggunakan bahasa Arab. Belajarlah dengan benar. Bukan sekadar latah, apalagi asal njeplak. Ditertawakan unta, nantinya!”

Kenapa saya enggak pernah menggunakan bahasa Arab seperti syafakillah, jazakillah, fi amanillah, qodarullah, dan lain-lain dalam perbincangan sehari-hari?

Alasan pertama, karena saya lebih mencintai bahasa Indonesia. Dan alasan kedua, untuk  menghindari diskusi panjang dengan lawan bicara, yang tidak benar-benar paham dengan koteks bahasa Arab.

Sebab, terkadang lawan bicara justru merasa kaget. Ketika saya beri jawaban yang berbeda dari yang biasa didengarnya. Lalu, terciptalah diskusi panjang untuk menjelaskan. Alih-alih mau menerima penjelasan, malah ngeyel. Ingin getok, rasanya.

Di beberapa grup WhatsApp,  saya kerap membaca pesan dari anggota grup yang mengabarkan bahwa dirinya, anaknya, atau kerabatnya sedang sakit. Lalu, anggota lain ada yang merespons dengan menjawab “Syafakillah, ya.” Tidak peduli siapa pun yang sakit, pokoknya syafakillah!

Di peristiwa yang lain. Saya juga kerap membaca pesan atau mendengar ucapan fi amanillah. Dari seseorang yang ditujukan untuk lawan bicaranya, yang akan atau sedang melakukan perjalanan.

Pengucapan fi amanillah ini pun sama dengan syafakillah. Kerap saya dapati asal-asalan, kalau tidak ingin dikatakan serampangan. Pokoknya fi amanillah!

Dalam maraknya ucapan ke-Arab-Araban semacam syafakillah, jazakillah, fi amanillah, qodarullah, bagi saya bahasa Indonesia lebih keren. Lebih komunikatif, bagi sesama warga Indonesia. Apalagi jika diucap atau ditulis dalam ejaan efektif dan sempurna.

Bukan karena saya menolak pemakaian bahasa asing, apalagi alergi Arab dan anti Islam, bukan. Melainkan, ya karena kedua alasan di atas.

Saya belajar mendalam, kok, tata bahasa Arab. Sejak Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, berlanjut sampai SMP Muhammadiyah hingga SMA Muhammadiyah.

Sepanjang itu, saya pelajari beberapa kitab sharaf. Mengenal dhomir atau kata ganti orang, dan seterusnya. Sampai saat bekerja, saya lanjut mendalami ilmu makrifat, berdasar tataran gramatikalnya. Komplet.

Kata ganti orang dalam bahasa Arab atau disebut dhomir itu cukup rumit. Njlimet bagi yang belum pernah mempelajarinya.

Ada fungsi mufrod (untuk kata ganti tunggal), tasniyah (untuk kata ganti kedua), hingga  jamak (untuk kata ganti orang banyak, atau lebih dari dua).

Belum lagi ada pembeda jenis kelamin, muanats (untuk perempuan) dan mudzakar (untuk laki-laki). Berbeda fungsi, tentu berbeda pula tulisan, ejaan, juga bunyinya. Bukan asal njeplak. Apalagi latah dipukul rata.

Misalnya, jika ada seseorang perempuan bercerita bahwa dirinya sakit. Lalu kita ingin menyampaikan doa secara langsung padanya agar lekas sembuh, bolehlah kita bilang, “Syafakillah, ya.” Artinya, “Semoga Allah menyembuhkanmu.” 

Syafakillah di atas tepat penggunaannya. Untuk lawan bicara langsung, hanya satu orang, dan berjenis kelamin perempuan. 

Namun, jika lawan bicara yang sakit adalah seorang laki-laki, maka ucapannya secara langsung adalah syafakallah. Artinya “Semoga Allah menyembuhkanmu” (laki-laki).

Berbeda lagi jika lawan bicara yang sakit adalah laki-laki namun jumlahnya lebih dari satu. Maka ucapannya adalah syafakumullah. Artinya “Semoga Allah menyembuhkan kalian” (laki-laki).

Jika orang sakit yang disebutkan oleh lawan bicara adalah orang ketiga tunggal dan seorang laki-laki, maka ucapannya adalah syafahullah. Artinya “Semoga Allah menyembuhkannya” (laki-laki).

Jika orang sakit yang disebutkan oleh lawan bicara adalah orang ketiga tunggal dan seorang perempuan, maka ucapannya adalah syafahallah. Artinya “Semoga Allah menyembuhkannya” (perempuan).

Jika orang sakit yang disebutkan oleh lawan bicara adalah orang ketiga jamak dan jenis kelaminnya yaitu laki-laki, maka ucapannya adalah syafahumullah. Artinya, Semoga Allah menyembuhkan mereka” (laki-laki).

Jika orang sakit yang disebutkan oleh lawan bicara adalah orang ketiga jamak dan jenis kelaminnya yaitu perempuan, maka ucapannya adalah syafahunnallah. Artinya, “Semoga Allah menyembuhkan mereka” (perempuan).

Bagaimana? Bisa??

Mempelajari dan menggunakan bahasa Arab itu harus memahami dan menggunakan pula dhomirnya. Kata gantinya. Bukan asal-asalan. Apalagi sekadar latah dan ikut-ikutan.

Harus tahu bagaimana menggunakan mukhathab (orang kedua tunggal laki-laki), mukhathabah (orang kedua tunggal perempuan), gha’ib (orang ketiga tunggal laki-laki), gha’ibah (orang ketiga tunggal perempuan), kata ganti jamak (lebih dari dua) dan seterusnya. Jadi tidak dipukul rata pakai syafakillah semua! 

Akan konyol, akhirnya. Jika dalam grup WhatsApp ada seorang ibu yang menyampaikan bahwa anaknya sakit, lalu anggota lain sekonyong-konyong koder mengucap “Syafakilllah, ya.” padahal artinya “Semoga Allah menyembuhkanmu, ya.” Ini kan koplak, namanya. Yang sakit anaknya, yang didoakan ibunya. Konyol.

Sebelum merespons, ketahui dahulu siapa yang sakit, ada berapa orang. apa jenis kelaminnya. Ruwet, kan?

Selain ruwet dan sejatinya tidak harus menggunakan bahsa Arab dalam mendoakan orang lain, secara pribadi, saya juga belum pernah menemukan riwayat tentang penggunaan kata syafakillah’ ini di masa Rasulullah saw.

Rasulullah saw. hanya mengajarkan doa-doa tertentu ketika mengetahui, berjumpa atau menjenguk orang yang sedang sakit. Tidak harus dengan ucapan syafakillah. Silakan saja cari sendiri literaturnya.

Perlu diketahui juga. Penggunaan dhomir atau kata ganti orang dalam bahasa Arab juga berlaku untuk ucapan lainnya. Seperti jazakillah, fi amanillah, qodarullah, dan seterusnya.

Jazakillah” akan menjadi tidak tepat bila lawan bicaranya adalah ibu-ibu semua. Yang tepat adalah jazakunnallah.

Pun akan sangat keliru bila lawan bicaranya tidak hanya kelompok perempuan saja. Melainkan ada satu pria di dalamnya.

Meski jumlah prianya hanya ada satu, maka ucapannya akan berubah menjadi jazakumullah. Kalau masih mengucapkan jazakillah, ya ngawur, namanya.

Jangan tanggung jika ingin menggunakan bahasa Arab. Belajarlah dahulu dengan benar. Bukan sekadar latah, apalagi asal njeplak. Ditertawakan unta, nantinya.

Atau, totalitas gunakan bahasa Indonesia saja. Dengan ejaan sempurna. Akan lebih mudah dipahami dan komunikatif didengarnya.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.