Cinta Sunyi Tumaruntum

“Saat Poligami Kembali Mengoyak,….”

Kala itu sekitar tahun 1749–1788 M di Kesultanan Surakarta Hadiningrat. Seorang permaisuri bernama Ratu Kencono atau Ratu Beruk mengisi hari-harinya dengan penuh kesepian.

Tak ada satupun kebahagiaan yang dapat ia rasakan lagi selain perenungan dalam kesunyian malam. Kesedihan membelenggu jiwa. Sebagai istri raja, ia tak dapat memberikan keturunan sebagai penyambung tahta.

Seiring dengan itu, kepedihan makin mengharu-biru. Keinginan suami sang pujaan hati, tak dapat diganggu gugat lagi. Sang raja ingin menikah lagi. Mempersunting selirnya. Berpoligami!

Hari-hari Ratu Kencono semakin dipenuhi kepedihan. Ia mulai diacuhkan. Raja tak mempedulikannya lagi.

Sejak saat itu, dalam tiap keheningan malam permaisuri hanya duduk berlama di taman bunga. Matanya selalu memandangi bintang-bintang yang bertebaran di angkasa. Seolah, hanya merekalah yang memahami kesedihan hatinya. Tiap malam. Di setiap keheningan.

Hingga suatu malam, bintang-bintang itu mulai ia lukiskan pada selembar kain. Ia membatiknya. Sinarnya, biasnya, titik-titiknya. Ia babarkankan jelas pada kain pilihan. Tiap malam. Sebagai pengalih kesedihan.

Hampir setiap malam tiba, ia melakukan itu. Berbulan-bulan memakan waktu, permaisuri selalu tidak berada di kamarnya jika malam tiba. Ia bercengkerama dengan bintang-bintang malam di sunyi taman nan penuh harum wangi bunga. Meluapkan kesedihan pada guratan guratan lilin malam. Ia tak peduli, asalkan kepedihannya terobati.

Suatu hari, raja mencarinya. Hal yang diluar dugaan, mengingat sudah lama sekali ia tidak memperhatikan permaisurinya. Namun malam itu, raja ingin menemuinya guna membicarakan kembali rencana poligaminya.

Setelah nihil menilik kamar Permaisuri, raja mendapatinya sedang penuh kesabaran dan ketenangan jiwa bersama bintang-bintang di motif kainnya. Diam-diam raja memperhatikan. Terus mengamati dengan saksama, ketekunan sang permaisuri di bawah cahaya purnama. Ia terus mengamati.

Sesekali, sang permaisuri terdengar terisak. Menarik nafas panjang demi menahan tangis yang mendalam. Kemudian kembali melanjutkan goresan batiiknya. Begitu, dan terus berulang.

Permaisuri terus berupaya mendekatkan diri pada Tuhan sambil meneruskan batiknya demi mengisi kekosongan. Membatik baginya seperti halnya berdzikir pada Sang Kuasa.

Raja terus mengamati. Ia sudah mulai lupa dengan niatnya untuk membahas rencana poligaminya. Raja merasakan apa yang ada dalam jiwa permaisuri. Raja tersentuh. Perasaan yang telah lama hilang kini menjalar kembali. Tumbuh kembali. Cintanya.

Tak kuasa menahan gelora jiwanya, ia pun menampakan diri. Mendekati Permaisuri yang nampak berulang menyeka pipi. Permaisuri tersentak.

Raja langsung terkagum dengan motif-motif bintang yang dibuat sang permaisuri. Ia tak pernah melihat batik seindah itu sebelumnya.

Yang lebih menghujam lagi saat ia mengetahui bahwa motif itu, adalah persembahan dari permaisuri untuk dirinya. Juga ketika raja tahu, bahwa yang dilakukan permaisuri itu adalah sebuah cara untuk menegarkan hatinya yang pedih. Kehancuran hati permaisuri yang sebelumnya tak pernah di ketahui oleh raja.

Kemudian raja melihat kain itu lebih dekat. Mengamati ketelitiannya. Ada sudut yang sama dalam tiap motifnya. Tak berubah. Menurut permaisuri, maknanya adalah bahwa apapun yang dilakukan oleh raja, perasaan cinta permaisuri tak akan pernah berubah pada sang raja.

Sontak, saat itu juga raja memeluk sang permaisuri. Ia kembali jatuh cinta pada ratunya. Ia tak dapat memungkirinya. Raja meminta maaf. Detik itu pula, raja membatalkan rancana poligaminya.

Cinta sang raja, telah bersemi kembali. Sama besarnya, dengan cinta sang permaisuri.
Dan taman bunga itu menjadi saksi cerita. Tumaruntum…

Nah. Makanya kalian duhai kamu hawa. Kalo suaminya minta nikah lagi, kalian buat aja batik. Di dalam rumah, enggak perlu di taman atau di atas loteng.

Setidaknya, sapa tau kalo suaminya tetep ngotot mau poligami, kalian udah punya dasar untuk jadi pengusaha batik. Dan menata finansial sendiri.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik…

Catatan Penulis :
Kain batik yang kini biasa disebut motif Truntum ini, biasanya digunakan oleh orang tua dari pengantin. Ini karena dalam batik itu terkandung makna soal cinta yang tulus tanpa syarat, abadi, dan semakin lama semakin terasa subur berkembang, bersemi atau dalam bahasa Jawa disebut tumaruntum.

Harapannya, cinta kasih yang disimbolkan lewat motif bunga-bunga ini dapat tertular ke kedua mempelai pengantin. Selain itu, batik motif truntum ini dipakai juga oleh pengantin perempuan dalam acara midodareni, juga pada acara panggih.

*)Diolah dari berbagai sumber

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.