Kartini, Poligami, dan Kontroversi

“Di balik pemikirannya yang menginspirasi, ternyata beberapa catatan hidup Kartini sempat menuai kontroversi. Di antaranya, yakni tentang poligami.”

Seperti tercatat dalam tulisan-tulisannya, terlihat bahwa Kartini begitu menginginkan agar terbebas dari penikahan yang dijalaninya.

Apa pasal?

Mungkin karena statusnya sebagai istri keempat dari seorang adipati. Seperti yang tertulis dalam curhatnya di bawah ini.

“Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum agama, tapi aku, tetap selama-lamanya mengatakan itu dosa. Kerja yang serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan dengan sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, dan aku bebas. Tetapi, tiada suatu jua pun boleh dikerjakan, karena menilik kedudukan Bapak.”

Namun sayang, sejak awal Kartini memang sudah menyerah pada sistem patriaki, yang memaksanya pada kondisi bahwa pria di atas segala. Bahwa laki-laki harus dipatuhi dan dituruti ucapannya.

Baca tulisan lain: “Asal-usul “Habis Gelap Terbitlah Terang” RA. Kartini”

Ya. Kala itu, Kartini tak mampu mendobrak sistem patriaki berbalut kepatuhan pada ayahnya. Hingga akhirnya dia harus menikah di usia muda, menjadi istri keempat pula.

Yang kemudian oleh sebagian kalangan, sikapnya itu dianggap pro terhadap poligami. Serta bertentangan dengan kaum feminis yang memandang arti emansipasi wanita itu sendiri.

Lebih parahnya lagi, niat untuk menyempurnakan pendidikannya kandas dua kali. Hanya karena pernikahan yang harus ia jalani.

Akhirnya, saya kadang berpikir. Bahwa catatan RA. Kartini yang mengemansipasi itu, tidak sekadar ia tujukan untuk menyemangati banyak wanita. Tetapi, sebagai cara untuk melegakan hati dengan bercerita, bahwa dirinya terbelenggu juga.

Mungkin Kartini ingin berteriak pada banyak wanita, “Kalian semua jangan seperti diriku. Kalian harus merdeka di atas kebahagiaan kalian sendiri!”

Oh, Kartini.

Dirimu mengemansipasi. Namun sayangnya, tak mampu menolong dirimu sendiri. Tenggelam dalam catatan sunyi, yang mungkin perihnya kaupendam sendiri. Sampai mati. Hingga tutup usia yang masih begitu muda. Dua puluh lima.

Kini saya paham. Sangat paham.

Maka, teruslah berani bersuara, Wanita-wanita Indonesia!

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.