“Ketika wanita menulis, kekuatannya akan sangat besar. Tajam. Setajam pacul!”
Dalam suatu pertengkaran, seorang istri merasa bahwa suaminya tidak bisa memahami apa yang ia sampaikan. Tidak mengerti apa yang ia inginkan.
Lalu, berlarilah ia ke dalam kamar dengan air mata berlinang. Meninggalkan suaminya yang masih penuh emosi, mempertahankan keegoannya sebagai laki-laki.
Tak berapa lama, keluarlah wanita itu dengan membawa secarik kertas. Dengan tulisan pada salah satu sisinya. Tangisnya masih tak terhentikan. Ia lekatkan kertas itu di tubuh suaminya. Tepat dibagian dada dengan tekanan telapak tangan yang cukup kuat.
“Nih, baca!,” kemudian kembali memasuki kamar tanpa ada kata selanjutnya.
“Braak!!,” pintu kamar terbanting.
Tanpa suara, suami itu membaca satu persatu kata yang tertulis. Perlahan, namun khusyu’. Sangat khusyu’. Masih tanpa suara, tapi dengan kepala makin menunduk.
Tiba-tiba, pelupuk matanya mulai sembab. Perlahan, air matanya mulai berlinang. Ia tak mampu lagi melihat tulisan yang ada di hadapannya. Kabur terbaca. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan berlari ke dalam kamar. Menyusul sang istri. Tepat setelah tetes air mata pertamanya membasahi selembar kertas yang masih ia genggam.
Ia langsung menundukkan tubuh di kaki istrinya. Kemudian duduk di sampingnya. Memeluknya erat, sangat erat. Segala ampunan dia ajukan, penuh tangisan. Syahdu.
Tak lupa permohonan pun ia sampaikan, dengan selembar kertas yang masih dalam genggaman. Secarik kertas dengan tulisan tangan istrinya.
KAMU TAU APA YANG AKU MAU??! ITU, BURUNG PERKUTUT MU MBO’ KAMU URUSIN! JANGAN AKU MULU YANG NGASIH MAKAN SAMA MEMANDIKAN! BAU!. KAMU URUS, ATAU KU POTONG BURUNGMU ITU!!
“Please,..jangan potong burungku, Ma,” suami itu memohon.
Wanita, menulislah. Buat suamimu mengerti maksudmu ketika lisanmu tak dapat dipahaminya. Dan kau pria, buatlah dia bahagia dengan membaca tulisannya!
Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…