Wanita dan Pengorbanannya

“Tak jarang seorang wanita harus terikat pemahaman bahwa patuh pada orang tua atau yang dituakan adalah bentuk pengabdian mutlak yang harus dilakukan, dimana surga adalah balasannya. Meski itu harus menyakiti diri sendiri seumur hidupnya.”

Seperti itukah seharusnya?
Saya pikir, tidak.

Buat apa Tuhan menciptakan otak, hati dan mulut untuk saling bersinergi. Dan akui saja, bahwa hal di atas seringkali dipengaruhi oleh dogma-dogma agama.

Kamu duhai wanita perhatikanlah ini!

Kalian adalah makhluk-makhluk yang berhak bahagia juga lho. Bahagia sebenarnya arti. Bahagia diatas kaki sendiri yang menghujam ke dalam relung hati. Bukan bahagia ala-ala yang pagi ketawa di hadapan mata dunia, tapi malam hari menangis perih sendirian di pojokan kamar. Kebahagiaan semu. Palsu!

Tak perlu kamu menjadi lilin ketika kamu bisa menjadi matahari. Bisa emang jadi matahari? Bisa, jika mau. Itu aja kuncinya.

Jika kamu sebatas nerimo ing pandum dan menganggap bahwa menjadi lilin adalah surga balasannya. Ya sudah, enggak perlu mengeluh. Enggak perlu merasa paling menderita dan bangga menunjukkan pada semesta bahwa penderitaanmu adalah demi terwujudnya kebahagiaan orang-orang yang kalian cinta, orang tua atau anak misalnya.

Harusnya kamu memahami apa itu energi. Ia mengalir dari dalam dirimu ke orang-orang di sekelilingmu. Orang-orang yang kamu cintai itu. manusia-manusia yang katamu ingin engkau bahagiakan.

Apa maksudnya?

Gini. Kebahagiaanmu, adalah energimu. Jika kamu bahagia, maka tanpa kamu minta pun, energi itu akan mengalir dengan sendirinya. Menulari orang-orang di sekelilingmu. Hingga akhirnya, merekapun akan ikut bahagia dengan sendirinya. Bahagiakan dirimu lebih dahulu, maka manusia di sekelilingmu akan otomatis ikut merasakannya.

Tapi jika kebahagiaan yang kamu bangun itu seperti lilin misalnya. Semu, palsu, sebatas pura-pura, kebahagiaan yang sejatinya menyakitimu. Itu sama saja kamu sedang menaruh bom waktu. Saat dirimu habis, gelap gulitalah dunia. Orang-orang yang awalnya kau bahagiakan, akan merasakan kegelapan juga akhirnya.

Ketika itu terjadi, maka selamat! Kamu telah meninggalkan kegelapan yang tak dapat diterangkan lagi. Lha ya iya, kan kamu sudah mati. Tinggal mereka aja yang clingak-clinguk dan menunggu mati. “Kebahagiaan” kau berikan itu, sejatinya membunuhmu dan diri mereka secara perlahan. Paham, kan?

Tak perlu-lah menjadi lilin ketika kamu bisa menjadi matahari. Tak perlu-lah mengorbankan dirimu demi kebahagiaan orang lain, padahal kamu tau hal itu menyakiti dirimu sendiri. Berharap saja di alam sana malaikat enggak bertanya “Waktu di dunia, situ ngebahagiain tubuh dan jiwa pemberian Tuhan enggak?”

Lucu kan kalo kamu menjawab “Enggak, tuan malaikat. Di dunia saya bahagiain orang lain aja dengan terus-terusan menyakiti diri sendiri.”

Seperti itu kah cara mensyukuri ciptaan Tuhan? Jasad dan Ruh mu.

Dan untuk kita semua duhai orang-orang dewasa. Sudahlah tak perlu memaksakan putri kita, saudari perempuan kita, keponakan kita atau siapapun itu untuk menopang kebahagiaan yang ingin kita rasa. Dengan cara memaksa mereka mencintai pilihan kita untuknya, padahal jelas mereka tidak menyukainya.

Jangan rayu mereka dengan suguhan dogma-dogma agama dan surga, yang kita sendiri sama-sama belum mengetahui seperti apa rasanya. Stop it!

Mereka sama seperti kita yang dilahirkan untuk bahagia. Manusiakan mereka dan berdiri lah kita di atas kaki kebahagiaan kita sendiri. Tanpa memaksa mereka untuk mengorbankan diri atau menjadi lilin agar menerangi kebahagiaan kita. Lagi.

Think about it!

Kriiik,…Kriiik,..Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.