Dear Wanita, Tetaplah Bekerja!

“Mengapa wanita perlu tetap bekerja? Sederhana jawabannya, supaya enggak bengong!”

Eh, bukan. Bukan itu!

Gini, wanita perlu tetap bekerja supaya tetap menjadi pribadi yang kuat. Berdiri di atas kemandirian kakinya sendiri dalam mewujudkan kebahagiaan yang selaras dengan tugasnya sebagai madrasah untuk anak-anaknya kelak.

Realitasnya, setelah menikah nanti tak ada satupun wanita yang tau kapan suaminya akan mati. Faktanya, tak ada satupun juga suami yang tau sampai kapan dia akan mendampingi dan mengayomi kebutuhan istri.

Ketika tiba-tiba ajal datang menjemput suami, kejatuhan wajan misalnya, wajan satu kontainer plus dengan kontainernya, na’uddzubillah, setidaknya secara finansial si istri dapat lebih tenang melanjutkan hidup bersama anak-anak, karena stabilisasi ekonomisasi akibat mandirisasisasisasinya memiliki pekerjaan. Kerja apa saja, usaha apa saja. Yang penting halal dan baik.

Ibarat kata jika hal itu terjadi menimpa suami, wanita enggak perlu terlalu khawatir dan takut untuk melanjutkan hidup. Juga agar enggak mudah tergoda oleh iming-iming sebagian pria buas yang bertebaran di jagad raya saat dalam kesendirian tanpa pasangan dan hanya hidup bersama anak-anak.

Dalam sebuah sidang penelitian tingkat pujangga yang dilakukan oleh Sutil, Penggorengan, Ember dan Baskom Bocor, serta dihadiri oleh perwakilan Sandal Jepit Ngesot, Bakiak Terbang dan Sepatu Kerlap-kerlip, diperoleh hasil bahwa istri yang bekerja terbukti lebih kuat.

Setidaknya kuat ketika ditinggal “pergi” oleh suami. Baik “pergi” dalam artian meninggal, maupun cerai karena suami kawin lagi, selingkuh, atau hilang tanpa tercium baunya akibat diculik oleh gerombolan alien dari planet Hula-hula Kutumbaba.

Selain itu, penelitian yang didanai oleh sebuah komunitas Semut Rang-rang pecinta JKT48 itu juga menyimpulkan. Bahwa istri-istri yang bekerja ternyata terbukti akan lebih memiliki kekuatan dan keleluasaan dalam menentukan jalan hidupnya jika ternyata suami “bertingkah” di belakang mereka. Berselingkuh itu, misalnya.

Istri yang bekerja dalam kemandirian dan stabilitas finansial yang kuat, akan lebih berani untuk bertindak atau bahkan menghempaskan suaminya yang “bertingkah”. Mencelupkan mereka ke samudera yang luas, lalu melanjutkan hidup dengan bergegas di atas kebahagiaan kaki sendiri bersama anak-anak meski tanpa suami lagi.

Bukan menangis tiap malam dipojokan kamar bersama bantal. Merana, namun bingung tak bisa berbuat apa-apa menerima perangai buruk suaminya.

Bingung, kan? Sama!
Saya juga bingung enggak abis pikir ngeliatnya.

Okay, kalau begitu kita bicara tentang pria aja.

Pria pun kudu salaras. Enggak perlu lah lagi melarang-larang pasangan wanita atau istrinya untuk berhenti berkarya dan meninggalkan pekerjaannya jika belum mampu memberikan pengganti kebaikan yang lebih untuk mereka. Membuatkan usaha, misalnya.

Konyolnya, sebagian pria itu egois. Menyuruh pasangan wanitanya untuk berhenti bekerja tanpa alasan yang jelas, cemburu sama bos pasangannya yang lebih ganteng misalnya. Atau hingga meminta pada istri untuk berhenti bekerja dengan alasan agar menjadi ibu rumah tangga yang baik saja untuk anak-anak mereka. Dibalut bumbu “kepatuhan pada suami”, diselimuti nuansa dogma-dogma agama dan surga, padahal terselubung ego pribadi suami yang tersembunyi. Ya cemburu itu, misalnya. Ini kan pe’a, namanya.

Fine.

Silakan ajarkan istri menjadi ibu rumah tangga. Tapi tolong buatkanlah mereka usaha, karena situ enggak akan hidup bersamanya selamanya. Atau minimal transferkanlah ilmu usahamu padanya supaya mereka siap jika dirimu tiada.

Udah nyuruh istri berhenti bekerja, enggak ngebuatin istri wadah usaha, enggak mentransferkan ilmu cara berkarya, padahal kemampuanmu ngasih jatah bulanan aja masih empot-empotan kembang kempis enggak karu-karuan. Atau menjatah tapi pelit dan perhitungannya na’udzubilah enggak ketulungan. Ngenes banget sih nasib itu istri.

Begitu juga kalian duhai wanita. Bolehlah ngikutin Siti Khadijah yang ingin mengabdi saja pada Rasul setelah mereka menikah. Tapi ingat, sebelum menikah Khadijah itu entrepreuneur yang ulung.

Ketika memutuskan untuk mengabdi saja pada suami dan menyerahkan segala bentuk usahanya paska menikah, Khadijah sudah sangat mumpuni menguasai ilmunya.

Sehingga andai saja zaman itu Rasul wafat lebih dahulu, logikanya Khadijah akan baik-baik saja. Karena kemampuan ilmunya dalam berwirausaha sudah sangat mampu memakmurkan kehidupannya. Begitulah kira-kira.

Okay akhirnya, kalian wahai para wanita. Jiwa-jiwa dimana etimologi surga akan berada di bawah kakimu. Bahagiakanlah lebih dahulu diri kalian dengan bekerja. Makmurkan dirimu, lalu ceritakan surga pada anak-anakmu dalam suasana jiwa bahagia. Itu akan lebih menggemberikan.

Bekerjalah dan terus bekerja. Agar kelak jika suamimu mati, dirimu tetap mandiri di atas kakimu sendiri. Sehingga tak perlu pula berpikir untuk menikah lagi. Agar tak sia-sialah ruh suamimu menantimu di depan pintu surga, demi hanya untuk dapat masuk ke dalamnya bersamamu jika benar semua itu ada.

Enggak lucu kan jika dia sudah lama menantimu di sana, lalu muncul lah dirimu. Namun nongol pula suami barumu. Itu koplak, namanya.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.