Penulis Harus Out of The Box

Sebagai penulis, kamu harus anu.  “Out of gedebuuggk!”. Out of the box, maksudnya. Memiliki ide-ide segar. Di luar boks yang sudah ada kebanyakan. Di luar kotak yang sudah umum. Di luar angkasa jika perlu. Wait, sorry. Jangan luar angkasa. Kejauhan!

Bagi sebagian penulis, pemikiran out of the box itu perlu. Wajib malahan.

Apalagi jika dirimu adalah penulis yang berorientasi bahwa karyamu harus menjadi sumber penghasilan baru. Maka memiliki gagasan yang berbeda dari penulis lainnya, semacam fardu ‘ain sepertinya.

Menulis naskah hingga menjadi buku itu mudah. Menjualnya yang kadang empot-empotan. Iya, kan?

Sehingga akhirnya, kamu rela hati ikut komunitas menulis itu dan ini. Harapannya, agar dapat berpromosi. Supaya bukumu yang sudah dicetak itu segera laku. Karena jika belum laku, jangankan keuntungan, pengembalian modalmu mungkin masih terhitung seujung kuku.

Berkumpullah dirimu dengan penulis lainnya yang memiliki ide serupa denganmu. Enggak salah. Tapi lihat realitasnya, dirimu menawarkan bukumu, mereka pun sama. Eaaa!

Enggak beli buku mereka yang sebenarnya adalah teman, perasaan jadi enggak enak. Mau beli, bukumu sendiri belum laku. Akhirnya saling membeli. Impas. Dapet duit segitu, keluar duit juga segitu. Atau kadang malah nombok.

Kenapa enggak barter aja sekalian seperti zaman penjajahan. Tukar-tukaran buku dan tanda tangan. Seperti itu saja terus sampai Ipin dan Upin jadi sarjana. Sehingga penghasilan barumu, enggak akan pernah kamu dapatkan. Boro-boro keuntungan. Iya, kan?

Pahami saja. Bahwa dengan cara ini, sebenarnya sebagian dari kita, baru akan mendapatkan penghasilan setelah karya buku kita ada. Itu pun jika laku menjualnya. Stop! Itu teknik lama.

Bagaimana jika seperti ini. Kita dapatkan penghasilan, bahkan sebelum buku kita ada?

Bisa??

Bisa!

Bagaimana caranya?

Gini. Itu naskah bukumu yang sudah dilayout, jangan buru-buru dicetak. Tambahkan dua, tiga sampai lima halaman kosong paling belakang sebelum cover penutup. Untuk apa? Untuk halaman iklan!

Bagi masing-masing halaman itu menjadi dua atau empat ruang. Suka-suka hatimu. Lalu tentukan harga iklannya. Berwarna berapa, hitam putih berapa.

Memang ada yang mau memasang iklan di sana?

Seabrek. Saya selalu melakukannya. Bahkan untuk buku hasil kelas antologi. Selalu saya usahakan pasangi iklan.

Semua tergantung seberapa mampu kita meyakinkan dan create demand. Membuat si calon pemasang iklan merasa yakin, bahwa beriklan di bukumu akan memberikan keuntungan. Apalagi jika dirimu mampu memberi gambaran seberapa luas target dan segmen pembacamu.

Siapa yang mau memasang iklan di bukumu?

Saya bisikin.

Pertama. Itu teman-temanmu yang sesama penulis yang satu grup di komunitas kepenulisan juga itu. Rayu mereka. Persilakan untuk mengiklankan cover bukunya pada halaman iklan di bukumu. Seperempat halaman misalnya, berwarna lima puluh ribu, hitam putih dua puluh lima ribu. Misal.

Kecil memang. Jika melihatnya satu. Tapi andai tiga halaman iklanmu terisi penuh dan masing-masing halaman dibagi menjadi empat serta berwarna semua, kalikan saja. 3 halaman x @4 cover iklan x @Rp.50.000,00 = Rp.600.000,00 ada di tangan. Bahkan meski karyamu belum dicetak, sebagai penulis, dirimu sudah mendapatkan penghasilan!

Terlalu kecil??

Fine.

Kedua. Bayangkan dirimu adalah penulis yang sekaligus guru tataboga. Sedang membuat buku “Cara Memasak yang Akan Membuat Lidah Bergoyang”, misalnya.

Perhatikan ini. Ada berapa kuliner di dekat rumahmu? Ada berapa kuliner terkenal di kotamu? Ada berapa tetanggamu yang jualan soto itu serta ada berapa banyak kenalanmu yang tergabung dalam komunitas UKM dan memerlukan media promosi murah dan tepat sasaran? Tawarkan pada mereka.

Buat separuh halaman, misalnya. Berwarna Rp.500.000,00, hitam putih Rp.250.000,00. Atau silakan kreasikan. Lalu kalikan.

Hal ini juga berlaku andai dirimu adalah penulis yang juga seorang pengajar tata busana. Bayangkan berapa banyak toko pakaian, hijab, blablabla yang ada di sekitarmu. Tawarkan.

Masih terlalu kecil juga?

Baiklah. Baiklah.

Ceritanya, saat ini dirimu adalah penulis yang juga pengajar manajemen perhotelan. Lalu ingin menulis buku tentang “Cara Senyum yang Benar Untuk Meningkatkan Kunjungan Tamu”, misalnya.  Tawarkan halaman iklanmu pada hotel-hotel terbaik yang ada di kotamu. Buat surat penawaran jika perlu. Satu juta untuk iklan halaman hitam putih, dua juta untuk halaman warna, misalnya.

Masih kurang juga???

Hfft. Okay.

Kalau begitu, sekalian saja tulis buku  “10 Kuliner Malam Terenak” atau “10 Hotel Bernuansa Alam Terbaik” di kotamu. Datangi satu-satu. Ajukan penawaran penulisan. Asalkan harganya pas, biasanya mereka senang jika ada yang mengulas. Setelah bukunya jadi, mereka tetap harus membeli. Enak tho, double-double?

Belum lagi, jika dirimu ditawari voucher ini dan itu dari masing-masing kuliner atau hotel itu. Lumayan. Rezeki orang baik. Belum lagi, jika mereka tidak mau ditulis dengan kompetitornya dalam satu buku. Memintamu untuk menulis satu buku sendiri. Durian runtuh buatmu. Ghost writer. Menuliskan buku untuk pihak lain.

Sekadar informasi tambahan saja dan ini terhitung murah jika dibanding lainnya. Saya menuliskan buku untuk orang atau pihak lain (Ghost Writing) harga termurah adalah Paket Premium sebesar Rp.16.000.000,00 untuk 75-100 halaman dalam tiga hari. Sedangkan Paket Super Diamond Rp.150.000.000,00 untuk 250-300 halaman dalam tiga puluh hari. Keduanya di luar biaya observasi.

Ini bukan promosi. Namun, sekadar informasi. Dan sebagai penguatan, bahwa menulis sejatinya bukanlah profesi sampingan. Butuh ketekunan. Kemauan. Dan menjanjikan.

Masih kurang juga?

Embuh, ah.

Wait, jangan buru-buru akhiri. Kembali ke perihal iklan tadi. Memangnya boleh buku diberi iklan-iklan segala di belakangnya?

Ingat ini. “Penulis, adalah Tuhan bagi karya tulisannya!”

Bagi penulis, bukunya mau diapakan saja, suka-suka dia.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.