Perlukah Memberi Hukuman pada Anak?

“Saya bukan pakar parenting. Hanya laki-laki yang sempat merasakan jadi seorang ayah. Yang ingin selalu mencintai anak kecil, bukan dari kaca mata kita selaku orang dewasa.”

Sebagai orang tua, kita harus mengajarkan hal-hal positif kepada anak. Di antaranya dengan memberi pujian atas perbuatan baiknya. Namun perlukah juga memberi hukuman atas kenakalannya?

Menurut hemat pemikiran saya sih, enggak!

Sebab, justru akan ada banyak peluang kesalahan, saat hukuman itu diberikan.

Kesalahan itu selain dapat melukai hati anak, juga bisa menghambat tumbuhnya perilaku positif di masa depan anak.

Berikut rangkuman beberapa kesalahan (versi saya) yang sering terjadi di masyarakat, saat orang tua memberi hukuman kepada anaknya  : 

Amarah

Namanya anak-anak, ya kadang perilakunya sering membuat orang tua jengkel. Ini kan lumrah. Andai hal itu terjadi, menurut saya sebaiknya enggak perlu menghukum mereka. Apalagi menghukum dengan amarah.

Berteriak, membentak, bahkan sampai memaki justru akan membuatnya merasa bahwa amarah seperti itu boleh dilakukan kepada saudara atau temannya. Dalam hal ini, suatu hari mereka akan mencontohnya.

Jika emosi karena kelakuan anak, mendingan orang tua menenangkan diri dahulu. Setelah tenang, baru berbicara pada anak.

Lagian menurut saya, anak akan lebih bisa memahami pendekatan yang dilakukan dengan suasana tenang serta masuk akal. Daripada mendengar teriakkan dengan intonasi suara yang tinggi. Jedar-jeder, teriak-teriak seperti Tarzan di hutan.

Kontak fisik

Hindari untuk mencubit, menjewer, atau bahkan memukul anak. Kontak fisik adalah cara yang enggak efektif untuk mendidik. Malah akan mengajarkan pada anak untuk menggunakan kekuatan fisiknya dalam menghadapi konflik.

Sehingga bukan enggak mungkin, anak justru akan menganggap bahwa setiap masalah bisa diselesaikan dengan kekerasan. Kontak fisik akan membuat mereka belajar menyelesaikan masalah dengan kekerasan.

Ingat,  peran utama orang tua adalah mendidik. Bukan memaksa. Apalagi dengan tindakan yang keras.

Enggak konsisten

Sebagian orang tua seringkali enggak konsisten dalam memberi respon. Misalnya, kenakalan yang sama direspon dengan cara berbeda dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, perlu adanya sikap yang konsisten atas apa yang diperbuat oleh anak.

Misalnya suatu hari ketika anak berbicara dengan kita, mereka memanggil dirinya dengan sebutan “aku”, kita menegurnya. Tetapi di hari lainnya, ketika anak kembali melakukan hal itu, kita hanya tertawa atau membiarkannya. Ini enggak konsisten, namanya.

Hal ini akan membuat mereka bingung. Dan enggak tahu mana perbuatan yang boleh dilakukan dan mana yang enggak.

Menurut saya konsistensi itu penting. Agar anak paham mana perilaku yang benar.

Memberi imbalan

Memberi imbalan hanya agar anak mau menghentikan kenakalannya justru akan menanamkan pemikiran dalam diri anak bahwa untuk mendapatkan hadiah mereka harus lebih dahulu melakukan kenakalan.

Sewajarnya, anak harus berperilaku baik dahulu baru mendapatkan hadiah. Bukan sebaliknya. Iya, kan?

Lagian, daripada memberi hadiah, menurut saya akan jauh lebih baik jika memberi mereka pemahaman akan sebauh manfaat atau akibat atas tindakan nakalnya. Sampai benar-benar paham. 

Supaya dirinya memiliki kesadaran atas apa yang dilakukannya. 

Tanggung jawab yang enggak nyambung

Menurut pemikiran sederhana saya, anak akan lebih mudah paham jika didikan yang diberikan pada mereka disesuaikan dengan bentuk kenakalannya.

Cari akar masalahnya, berikan pemahaman dalam bentuk tanggung jawab yang menjadi solusi. Serta tetap berhubungan dengan perilakunya.

Misalnya, jika anak mengotori lantai. Sebaiknya dididik dengan cara memberikan tanggung jawab untuk membersihkan lantai yang sudah mereka kotori. Mengotori-membersihkan. Bukan mengasingkan mereka ke kamar mandi atau dikunci di kamar seorang diri. 

Contoh lainnya. Anak nilainya anjlok karena malas belajar. Bisa dididik dengan mengarahkannya agar enggak menghabiskan waktu untuk main gadget atau nonton TV. Melainkan meningkatkan frekuensi kerajinan waktu belajarnya. Malas-rajin.

Atau, anak enggak mau sekolah karena ada pelajaran bahasa Inggris yang dirasa menyebalkan buat dirinya. Sebaiknya dididik dengan cara mencari tahu bagaimana bahasa Inggris dapat menjadi pelajaran yang mengasyikkan baginya. Menyebalkan-mengasyikkan. Bukan malah menghentikan hak makan siangnya di sekolah.

Dengan cara seperti ini, anak akan belajar tanggung jawab yang tepat atas apa yang diperbuatnya. Jangan lupa, berikan pujian dan ucapan terima kasih bila anak telah melakukan tanggung jawabnya.

Menyalahkan

Membuat anak merasa bersalah atas apa yang terjadi dalam kehidupan orang tua,  bukanlah cara mendidik yang baik.

Sebagai orang tua enggak perlu lah berkata, “Ibu sudah kerja keras sampai larut malam, tapi kamu disuruh belajar aja enggak mau!”

Turut menyalahkan anak atas hal buruk yang menimpa kehidupan orang tua, enggak akan membuat orang tua menjadi pendidik yang baik. Justru terkesan menjadi pengeluh.

Ajarkan anak untuk ikut bertanggung jawab. Tanpa harus membebani mereka dengan rasa bersalah. Ingat, tugas kita adalah mendidik mereka. Bukan menyalahkan mereka dengan keluhan yang seharusnya enggak perlu disampaikan.

Searah

Sebagian besar kita sering menganggap bahwa anak enggak bisa diajak berdialog. Sehingga sebagian kita cenderung memarahinya satu arah. Padahal anggapan semacam itu enggak sepenuhnya benar. Jika enggak ingin saya katakan salah.

Memarahi justru akan membuat mereka merasa enggak sedang diberi ruang untuk belajar. Mereka akan lebih merasa seperti sedang didikte.

Menurut saya, melakukan dialog adalah pendekatan yang sangat baik dalam upaya mendidik. Untuk mencari tahu akar masalah, mengapa mereka melakukan tindakan yang salah.

Menanyakan pada anak, alasan mengapa dirinya sering terlambat bangun pagi akan lebih menghasilkan solusi yang tepat dan benar untuk memperbaiki. Daripada sekadar terus memarahinya, ketika anak sering terlambat bangun di pagi hari.  

Membandingkan dengan orang lain

Kata-kata seperti, “Temanmu rajin dan nurut, kenapa kamu nakal?!,” justru akan memunculkan penolakan dan kebencian di dalam diri anak. Bukan malah membuat mereka tergugah dan mau memperbaiki kesalahannya.

Kita harus menyadari bahwa setiap anak itu istimewa serta memiliki kelebihan yang berbeda-beda. Membandingkannya dengan orang lain bukanlah cara yang tepat untuk mendidiknya.

Saya masih ingat beberapa buku psikologi anak yang pernah saya baca. Seenggaknya, saya menemukan ada dua pakar teori belajar yaitu Skinner dan Thorndike, yang sangat saya setujui pendapatnya.

Menurut mereka, hukuman pada anak adalah cara yang enggak efektif untuk menurunkan peluang kembali terjadinya kenakalan anak.

Meskipun hukuman dianggap bisa menekan munculnya kenakalan anak selama hukuman itu diterapkan, tetapi enggak menjamin akan mampu melemahkan atau menghilangkan kenakalan anak tersebut.

Saya sangat sepakat dengan pendapat itu. Dan seperti mereka, saya termasuk orang yang menentang keras atas teori pemberian hukuman kepada anak. Berikut alasan yang saya punya :

  1. Hukuman cuma akan menekan perilaku. Tapi saat ancaman hukuman dihilangkan, potensi perilaku itu akan kembali lagi. Dalam hal ini, hukuman hanya akan memberikan efek temporer. Sementara doang.

 

  1. Hukuman bisa memberi dampak emosional yang buruk seperti rasa takut. Ketakutan terhadap semua hal, akan menyebabkan anak berpikir bahwa segala yang akan dilakukannya jangan-jangan akan membuatnya dihukum juga. Anak akan takut mencoba hal baru. Menutup diri, minder, akhirnya enggak percaya diri.

 

  1. Biasanya, hukuman itu lebih cenderung berefek pada menunjukkan apa yang enggak boleh dilakukan, bukan apa yang seharusnya dilakukan. Padahal anak perlu dididik untuk mengerti apa yang harus dilakukannya.

 

  1. Memberi hukuman sama saja dengan membenarkan tindakan untuk menyakiti pihak lain. Ketika anak dipukul, maka mereka akan belajar bahwa dalam situasi tertentu dirinya pun boleh memukul juga. Suatu hari nanti mereka akan melakukan pada temannya, saudaranya, atau bahkan kepada kita selaku orang tuanya. Saya jamin 1000%, hal itu akan terjadi!

 

  1. Perilaku sama yang diberi hukuman di hari sebelumnya, tapi dikemudian hari  enggak, akan membuat anak menjadi bingung. Serta menganggap bahwa perilaku tersebut boleh dilakukan.

 

  1. Hukuman dapat menimbulkan agresi. Yaitu perasaan marah, tindakan kasar atas kekecewaan atau sikap saling bermusuhan. Baik dalam diri orang tua yang memberi hukuman maupun pihak anak yang menerima hukuman.

 

  1. Hukuman sering  kali enggak membuat anak meninggalkan perilaku buruknya. Melainkan justru mengganti dengan perilaku buruk yang lainnya.

Meskipun sebagian pakar ada yang berpendapat bahwa hukuman masih bisa dilakukan dalam kondisi sangat terpaksa (misalnya untuk anak dengan perilaku yang sangat buruk, dan perilakunya itu membahayakan orang lain serta dirinya sendiri), tetapi saya tetap berpikiran bahwa memberikan hukuman pada anak sebaiknya enggak perlu dilakukan. 

Sebab membuat anak mengerti akan kesalahannya, ya harus dibuat mengerti. Dibuat paham. Sampai paham. Benar-benar paham. Meskipun lama prosesnya. Bukan dengan memberinya hukuman.

Membuat mereka paham akan kesalahan yang dilakukannya, akan lebih memberi efek jera. Serta diharapkan akan mampu mengubah perilaku anak agar enggak mengulangi lagi kesalahannya.

Cari akar masalahnya, buat dirinya mengerti. Dengan komunikasi yang baik, tenang, logis dan menyenangkan. Hal itulah yang dulu sering saya lakukan. Dulu. Dulu sekali.

Saya bukan pakar parenting. Hanya laki-laki yang sempat merasakan menjadi seorang ayah.

Laki-laki yang ingin selalu mencintai anak kecil, dari kaca mata dunia anak kecil. Bukan dari kaca mata kita, selaku orang yang lebih dewasa.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.