Salah Kaprah Memahami Hari Ibu 22 Desember!

“Koplaknya, lagi-lagi karena kurang baca, pergeseran makna tersebut diwariskan secara turun-temurun. Dari orang tua ke anak. Dari guru ke murid. Dengan bangga pula. Miris!”

Tanpa mengurangi rasa hormat pada sosok seorang ibu, tulisan ini enggak bermaksud untuk mengesampingkan kemuliaan mereka. Tulisan ini, semata-mata untuk membuka fakta sejarah saja.

Parahnya, dan tentu karena malas membaca. Sehingga sebagian besar kita sering kali salah memberi makna pada peringatan Hari Ibu setiap 22 Desember. Dan tentu, ini menyebalkan!

Langsung saja. Diingat baik-baik, ya. Supaya enggak lupa.

Hari Ibu yang diperingati di Indonesia itu enggak sama dengan “Mother’s Day” yang diperingati oleh dunia Barat.

Ini poin pentingnya. Nanti di akhir tulisan, kamu akan tahu. Bahwa makna di antara keduanya sangat jauh berbeda!

Iya, sih. Kata “ibu” bisa diartikan sebagai orang tua berkelamin perempuan yang telah mengandung dan melahirkan anak.

Namun, bisa juga memiliki arti lainnya. Yaitu sebutan bagi perempuan yang lebih tua, seperti halnya “bude” atau “mbak”. Bisa juga digunakan untuk sebutan bagi perempuan dengan penghormatan tertentu misalnya “ibu guru, ibu lurah, ibu RT” dan lain sebagainya.

Nah, pengertian lain itulah yang mendasari makna peringatan Hari Ibu di Indonesia. Yaitu “ibu” dalam arti perempuan yang lebih luas. Bukan semata-mata “ibu” dalam arti hubungan antara anak dan orang tua yang melahirkan!

Mari ketahui sejarahnya.

Mother’s Day di Dunia Barat

Peringatan Mother’s Day di dunia Barat dimulai sekitar tahun 1908 di Amerika. Awalnya, Tante Anna Jarvis melobi sana-sini untuk menentukan satu hari resmi, agar masyarakat bisa merayakan ibu-ibu mereka. Memanjakan nyokap mereka yang setiap hari telah lelah bekerja tanpa mengenal waktu mengurus rumah tangga. 

Berjalannya waktu, Anna malah jadi kesal sendiri. Sebab Mother’s Day akhirnya dikomersialisasi dan dikapitalisasi secara besar-besaran oleh pihak tertentu.

Cek saja datanya di google. Betapa Mother’s Day akhirnya menjadi bisnis besar yang menguntungkan. Tercatat, jumlah yang pernah dibelanjakan oleh masyarakat AS untuk Mother’s Day pada tahun 2012 diperkirakan mencapai US$19 milyar.

Mother’s Day berubah wujud menjadi hari raya ketiga terbesar sesudah Natal dan Hari Valentine, untuk bisnis kartu ucapan. Ladang bisnis yang menggiurkan, bukan?

Baca artikel lainnya : Asal-usul “Habis Gelap Terbitlah Terang” RA. Kartini

Hari Ibu di Indonesia

Sayangnya, sebagian besar kita benar-benar malas membaca. Apalagi membaca sejarah. Sebab jika rajin, pasti akan tahu apa makna di balik peringatan Hari Ibu.

22 Desember 1928. Untuk kali pertama, 600 ibu-ibu dari 30 organisasi perempuan (baca : organisasi ibu-ibu/perempuan Indonesia) dari 12 kota di Sumatra dan Jawa menyelenggarakan kongres di Yogyakarta.

Pertemuan selama tiga hari (22-26 Desember 1928) ini membahas beberapa isu. Seperti pendidikan perempuan bagi anak gadis, perkawinan anak-anak, kawin paksa, permaduan dan perceraian secara sewenang-wenang, dan kesehatan. Juga membahas dan memperjuangkan peran perempuan bukan hanya sebagai istri dan pelayan suami saja.

Sepuluh tahun kemudian. Tepatnya pada Kongres Perempuan Indonesia III yang berlangsung pada 22-27 Juli 1938 di Bandung ditetapkanlah Hari Ibu yang akan diperingati setiap 22 Desember. Tanggal tersebut dipilih untuk mengekalkan sejarah bahwa kesatuan pergerakan perempuan Indonesia dimulai pada 22 Desember 1928, yaitu adanya pelaksanaan kongres yang pertama.

Dokumentasi Kongres Perempoean Indonesia III – Sumber Foto : Berdikari Online

Ketetapan tersebut didukung oleh Presiden Soekarno yang kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 316 tahun 1959 dan menetapkan Hari Ibu resmi menjadi Hari Nasional. Melihat kenyataan bahwa Hari Ibu pada hakikatnya merupakan tonggak sejarah perjuangan perempuan sebagai bagian dari perjuangan bangsa yang dijiwai oleh Sumpah Pemuda 1928.

Jadi, kata “ibu” pada frasa “Hari Ibu” di ketetapan tersebut mengacu kepada ibu-ibu yang melakukan aktivitas perkumpulan. Bukan diartikan sebagai ibu yaitu seorang perempuan yang melahirkan anak.

Baca artikel lainnya : Poligami dan Spiritualitas Tertinggi. Really?

Awalnya, Hari Ibu di Indonesia diperingati hanya oleh kaum perempuan saja. Namun, sejak 1986 Hari Ibu diperingati secara nasional oleh seluruh rakyat Indonesia. Agar nilai luhur yang terkandung dalam sejarah kebangkitan perempuan dapat diwariskan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Dan sebenarnya, Hari Ibu di Indonesia ditujukan untuk menandai perjuangan perempuan dan keterlibatan mereka dalam kemerdekaan. Lebih bermakna pada pemberdayaan perempuan. Demikianlah memang makna seharusnya.

Sampai kemudian, Hari Ibu mulai diperingati dengan berbagai macam perayaan yang bergeser maknanya. Tumpengan, lomba masak, mencuci kaki ibu, kirim-kirim kartu ucapan untuk ibu, kirim-kirim pesan WhatsApp untuk ibu, paket-paket diskonan di mal-mal untuk ibu di rumah, blablabla. Enggak jelas.

Koplaknya, lagi-lagi karena kurang baca, pergeseran makna tersebut diwariskan secara turun-temurun. Dari orang tua ke anak. Dari guru ke murid. Dengan bangga pula. Miris!

Peringatan Hari Ibu di Indonesia (sebenarnya saya lebih senang menyebut sebagai Hari Perempuan) yang seharusnya memiliki makna lebih luas dan sarat akan peningkatan pemberdayaan perempuan, nilai luhur perjuangan perempuan, serta kemajuan pemikiran perempuan Indonesia, akhirnya seperti terbajak oleh peringatan hari ibu versi Mother’s Day yang sangat komersil ala dunia Barat.

Dan parahnya, banyak yang enggak sadar.

Embuh, lah!

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.