Bahayanya Malas Membaca!

“Yang berbahaya dari malas membaca adalah meningkatnya minat komentar tanpa data.”

Suatu hari saya diajak berdiskusi. Berdebat, lebih tepatnya. Debat dalam sebuah ajang diskusi. Karena sebelumnya pernah dekat dengan orang ini dalam beberapa momen kerjasama, akhirnya ajakan diskusi itu saya penuhi.

Sebelum berdiskusi, saya mengajukan dua syarat. Pertama, saya meminta padanya untuk menyediakan data dari setiap klaim yang akan disampaikannya. Kedua, saya meminta untuk bergantian bicara. Sesuai dengan etika diskusi pada umumnya.

Maksudnya, ketika dirinya berbicara, saya akan mendengarkan hingga selesai. Selama apa pun penyampaiannya. Dan jika tiba giliran saya, maka dirinya pun cukup mendengarkan saja. Tanpa memotong, tanpa menjeda, apa pun yang akan saya sampaikan hingga tuntas. Orang itu setuju.

Diskusi pun dimulai. Dirinya lebih dahulu bicara.

Penyampaiannya cukup singkat. Lebih banyak menyampaikan opini pribadi dan beberapa informasi yang hanya berdasar “katanya-katanya.” Pemaparan yang sangat singkat. Jauh lebih singkat dari yang saya duga.

Baca tulisan lainnya : Mengapa Wanita Harus Menulis?

Kemudian giliran saya berbicara. Namun sebelumnya, saya meminta data-data yang menjadi dasar atas beberapa klaim yang sempat ia sampaikan. Ternyata data-data itu enggak ada. Paparannya, lagi-lagi hanya sebatas informasi berdasar “katanya.”

“Ohh…,” batin saya.

Singkat cerita, penyampaian saya pun selesai. Enggak lupa, saya sodorkan juga data-data yang menjadi dasar beberapa klaim yang saya sampaikan. Lalu saya minta dirinya untuk membaca dan memeriksa.

“Enggak, ah. Males,” jawabnya.

Mendengar ucapannya, detik itu juga saya langsung berdiri, pergi, dan mengakhiri diskusi. Tapi sempat saya sampaikan satu kalimat. Persis ke arah mukanya yang bulat.

“Lain kali, kalau elu masih malas untuk membaca, enggak usah ngotot ngajak orang lain untuk diskusi!” Kemudian saya ngeluyur begitu saja.

Kurang lebih, seperti itulah saya saat berhadapan dengan orang yang malas membaca. Alih-alih berdiskusi, saya akan lebih memilih untuk banyak diam. Pura-pura bego. Toh, kewarasan enggak harus selalu ditunjukkan.

Atau, saya akan lebih memilih untuk membicarakan topik lain saja. Yang lebih ringan diperbindangkan.

Untuk apa berdiskusi apalagi sampai berdebat, dengan lawan bicara yang memiliki kemalasan untuk membaca. Opininya pasti akan penuh dengan emosi pribadi. Bigotri. Ujung-ujungnya, ad hominem enggak jelas. Basi.

Baca tulisan lainnya : Tubuh Bugil di Antara Menulis dan Mengedit!

Di kesempatan yang lain, saya pernah berdiskusi dengan seseorang yang nampak sarat ilmu. Terlihat karakter orang tersebut dari gaya berbicaranya.

Di hadapan orang yang semacam ini, saya akan buru-buru mengosongkan cangkir diri. Mengubah wujud menjadi manusia bodoh sebodoh-bodohnya, dengan banyak bertanya atau mempertanyakan. Cara ini selalu saya lakukan, agar lawan bicara mengeluarkan segala ilmu dan pengetahuan yang dia punya. Yang kemudian akan menjadi ilmu dan pengetahuan baru bagi diri saya.

Kamu, ingatlah ini.  Yang berbahaya dari malas membaca adalah meningkatnya minat komentar tanpa data.

Bicara asal njeplak, enggak berdasar fakta empiris sebagai landasan penyampaiannya. Ngalor-ngidul enggak jelas, berujung “katanya-katanya”.

Boro-boro kita akan mendapat ilmu baru. Yang ada, justru buang-buang waktu. Belum lagi, saat lawan bicaramu mengeluarkan jurus bapernya, ad hominem. Kelar idup Lo!

Anyway, sebagai penutup. Boleh percaya, boleh enggak. Tulisan dengan jumlah 471 kata ini, saya buat dalam waktu kurang dari dua menit saja.

Jika mau, suatu hari akan saya ajarkan caranya. Jika mau.

Kriiik…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.