pe.rem.pu.an /pêrêmpuan/

Tulisan ini sedikit keras. Namun, tetap penuh cinta. Dan sebagai penulis, kamu harus membacanya. Agar akalmu tidak terus terbelenggu, serta cupet melulu.

Saat ini, entri “perempuan” di KBBI sedang menjadi pembahasan. Sebab banyak yang mengkritik dan menganggap bahwa lemanya berkonotasi negatif.

Dengan bijak, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa memberikan tanggapan atas kritik itu. Dan menurut saya, dirimu pun harus membaca tanggapannya.

Agar akalmu tidak bebal. Tidak sempit. Tidak sedikit-sedikit tabu, sedikit-sedikit vulgar, sedikit-sedikit menyalahkan kata. Bah, bagaimana bisa menulis dengan bebas jika pikiranmu seperti itu?!

Selain itu, dengan membaca tanggapannya maka dirimu akan tahu. Juga tempe. Tentang bagaimana proses memasukkan satu kata ke dalam KBBI.

Yang tentunya membutuhkan proses panjang. Tidak serampangan. Perlu pemikiran luas, disertai adu argumentasi dalam diskusi sana-sini antar para ahli, sudut pandang lintas ilmu para praktisi, yang mengacu pada ketetapan editorial yang telah disepakati. Itu semua hanya untuk memasukkan satu kata. Baca ulang: satu kata!

Eh, tetiba kamu datang sekonyong-konyong koder. Tanpa tahu ilmunya, tanpa paham prosesnya, namun serampangan berbicara. Menganggap dan mengatakan kata ini terkesan tabu, lah. Kata itu bermuatan negatif, lah. Kotor, lah. Hmm…astaganagadragon, sejatinya akalmulah yang kotor dan sedang tidak baik-baik saja. Bukan kata yang kamu baca!

Saya sepakat dengan tanggapan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Yang kurang lebih mungkin ingin mengatakan bahwa bila ada kesan negatif di akalmu terhadap entri “perempuan”, maka yang harus diubah bukan kata di KBBI-nya itu.

Melainkan, yang perlu diubah adalah stigma di masyarakat agar perempuan semakin mulia. Sehingga berjalannya waktu, entri “perempuan” di KBBI pun akan bertambah lemanya. Dengan lema yang membahagiakan akalmu.

Lebih luas dari itu. Namun, masih selaras. Saya kerap mengatakan.

“Tidak ada kata di KBBI yang berkonotasi kotor, tabu, vulgar, negatif, dan sejenisnya. Yang bermasalah itu bukan kata yang kamu baca. Melainkan, akalmu yang mungkin perlu dibenahi cara menilainya. Selama akalmu bersih dan tidak lepas satu bautnya, maka semua akan baik-baik saja.”

Sehingga, sudahlah. Sebagai penulis, tidak perlu takut lagi menggunakan diksi “vagina”. Tidak perlu khawatir lagi menulis “vulva”, “penis”, “payudara”, “puting” dan sejenisnya. Jika dirimu merasa perlu untuk menuliskannya, ya, tulis saja. Sederhana.

Bebaskan akalmu untuk berkarya. Jangan belenggu lagi. Jangan ragu lagi. Ingat, musuh terbesar sebuah kreativitas adalah keraguan diri. Termasuk dalam menulis, yakni keraguan menggunakan diksi!

Dan kala dirimu sebagai pembaca, maka saya perlu mengingatkanmu juga. Agar tidak perlu risih, apalagi tabu tatkala membaca kata semacam itu lagi. Tinggal baca, pahami, tinggalkan. Buka bacaan baru lagi, baca lagi, tinggalkan lagi. Apa susahnya? Toh, semua akan baik-baik saja.

Sebagai penutup saya ingin menyampaikan dua hal. Pertama, mari kita pahami pernyataan Wittgenstein II (1953: 23) di bawah ini.

“Makna setiap kata tergantung penggunaannya dalam setiap kalimat; makna setiap kalimat tergantung penggunaannya dalam setiap bahasa; dan makna setiap bahasa tergantung penggunaannya dalam setiap kehidupan.”

Paham, kan?

Dan yang kedua. Bila setelah membaca tautan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang saya sertakan di bawah ini, dirimu sebagai penulis masih saja berpikir tabu, vulgar, jorok, dan lain sebagainya terhadap sebuah kata, maka saya doakan semoga dirimu jadian dengan tempayan. Amin.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tanggapan BPPB atas Kritik terhadap Entri Perempuan di KBBI: 

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3423/tanggapan-atas-kritik-terhadap-entri-perempuan-di-kbbi

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.