Kaidah Penulisan Kata “Amin”

“Sepakati dahulu bahwa kaidah yang dipakai untuk membahas 1+1=2 adalah ilmu Matematika. Bukan ilmu Biologi, Geografi, apalagi ilmu santet. Bukan!”

*****

Dalam KBBI, entri “amin” yang berasal dari bahasa Arab, ditulis dengan satu huruf a dan satu huruf i. Tidak lebih.

Tentu, ada alasannya. Juga, ada diskusi panjang di belakangnya. Antara para ahli bahasa, termasuk ahli agama.

Sampai kemudian disepakati bahwa penulisannya adalah “amin”. Karena sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Yang artinya, sudah menjadi bahasa Indonesia. Bukan bahasa Arab lagi. Walaupun berbunyi amin.

Sehingga penulisannya pun mengikuti kaidah bahasa Indonesia. Tidak lagi berlaku kaidah penulisan dalam bahasa asalnya, apalagi didasarkan pada kaidah pelafalannya.

Oleh sebab itu, meski dalam bahasa Arab pelafalannya diucap panjang, tetapi bukan berarti penulisan dalam bahasa Indonesia pun harus memiliki huruf a atau i  lebih dari satu menjadi amiin, amiin, aamiiin, atau aamiiin. Bukan, bukan seperti itu. Apalagi, dalam bahasa Indonesia tidak mengenal panjang atau pendek pelafalan kata  seperti yang ada dalam bahasa Arab.

Bila dirimu terus berpikir bahwa penulisan kata “amin” dalam Bahasa Indonesia harus dengan huruf a atau i lebih dari satu hanya karena berdasar pelafalan Arabnya dibaca panjang, maka dirimu pun harus konsisten menulis kalimat seperti ini:

 

Pak Haji mengamiiini doa para murid.

Pak Haji mengaamiiini doa para murid.

Pak Yanto mengamiiinkan permintaan putrinya.

Pak Yanto mengaaamiiinkan permintaan putrinya.

 

Pernah melakukannya? Tentu tidak akan pernah.

Begitu pula, dirimu harus konsisten menulis “Allaah”. Bukan “Allah”. Sebab dalam bahasa aslinya, lafal “Allah” dibaca dengan suara panjang juga, kan?

Tatkala mendiskusikan penulisan kata “amin” dalam bahasa Indonesia, seharusnya dirimu perlu memahami beberapa hal.

Baca tulisan lainnya: “Kalau Sekadar Latah, Pakai Bahasa Indonesia Saja!”

Yang pertama. Sepakati dahulu bahwa kaidah yang dipakai untuk membahas 1+1=2 adalah ilmu Matematika. Bukan ilmu Biologi, Geografi, apalagi ilmu santet. Bukan!

Sebab, bila membahas penjumlahan dengan menggunakan ilmu selain Matematika, maka tidak akan tepat dasar argumentasinya. Semacam kurang pas latar pandang yang digunakan.

Demikian pula, tatkala membahas penulisan kata “amin”. Maka aturan yang digunakan adalah kaidah penulisan, bukan kaidah penuturan.

Karena keduanya memiliki aturan yang sangat berbeda. Tidak dapat dibenturkan dalam satu topik pembahasan, apalagi diperdebatkan. Buang-buang waktu, akhirnya.

Bayangkan saja, kaidah penulisan itu membahas tentang transliterasi. Sedangkan kaidah penuturan membahas seputar diftong dan pelafalan. Berbeda, kan?

Kedua. Karena yang dibahas adalah kaidah penulisan, maka pertanyaan yang muncul seharusnya bukan  “Mana penulisan kata ‘amin’ yang benar?” Melainkan, “Mana penulisan kata ‘amin’ yang baku?”

Mengapa demikian?

Sebab, benar atau tidak benar penulisan kata tersebut, kan tidak memilik acuan. Maksudnya, setiap kepala bisa saja memiliki opini berbeda dalam penulisan “amin”. Dan menganggap opininyalah yang paling benar. Karena tidak ada pedoman yang disepakati bersama.

Sedangkan baku atau tidak baku, lebih jelas acuannya. Ada panduannya yang pasti. Dalam dunia tulis kita, pedoman itu namanya Kamus Besar Bahasa Indonesia. Mudah dipahami, ya?

Omong-omong, daripada terus meributkan penulisannya, bukankah sebaiknya kamu aminkan saja permintaannya, yang ingin mengajakmu ke KUA dengan segera? Amin.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.