Istri yang Jancuk!

“Iya, istrimu emang jancuk. Jangan lanjutkan rumah tanggamu dengan seseorang yang tidak mau belajar!”

Seorang sahabat menggerutu, “Istri gue itu emang jancuk, Dit! Masa ganteng-ganteng gini, gue dianggurin di rumah. Selama jadi suaminya, enggak pernah dia pamerin ke teman-temannya. Sekarang, dia malah buka puasa bersama di luar, gue ditinggalin di rumah. Parah!”

“Mungkin, buka puasa bersamanya memang hanya mengundang perempuan dan tidak boleh bawa pasangan?” tanya saya.

“Halah, gue enggak peduli aturan kayak gitu!” pungkasnya.

Lalu saya bertanya padanya, memang sikap seperti apa yang seharusnya dilakukan oleh istrinya?

“Ya, harus punya prinsip, dong. Aturan dalam pertemanan, tidak boleh mengalahkan aturan dalam rumah tangga. Kalau sudah menikah, ya jangan sampai disetir oleh aturan di luar rumah apalagi cuma aturan pertemanan!” tegasnya, lalu menjelaskan panjang lebar.

Menurutnya, jika dirinya diundang acara pertemuan oleh teman-temannya maka dia pastikan akan membawa istrinya. Mau rapat, mau biliar, mau clubbing, dan dugem sekali pun, istri adalah sosok yang wajib dia bawa dan harus ikut. Apalagi kalau cuma sekadar buka puasa bersama. “Ya, elah bukber,” katanya.

Sahabat saya itu bisa dengan tegas mengatakan pada teman-teman di circle-nya agar tidak perlu mengundangnya lagi, jika tidak boleh datang bersama istri. Kalau mau dirinya datang, ya harus satu paket dengan istrinya. Kalau tidak boleh datang bersama istri, ya mendingan di rumah menemani istri.

Kemudian sahabat saya bertanya balik, “Bagaimana menurut lo, Dit?”

“Gue setuju,” sahut saya. Lantas memberikan penjelasan bahwa saya juga memiliki prinsip yang sama.

Bagi saya, istri adalah segalanya yang akan saya ajak ke mana pun termasuk pertemuan bersama teman-teman sekali pun. Kecuali pertemuan bapak-bapak RT di samping rumah.

Jika aturannya tidak boleh membawa pasangan, maka saya sangat mudah untuk menegaskan anehnya aturan semacam itu. Persetan aturan pertemanan. Sebab, yang paling penting adalah pasangan yakni rumah tempat kita kembali yang memberikan kenyamanan.

“Ngapain ada aturan ngelarang bawa pasangan, gue mau datang sama istri. Enggak ada yang bisa ngatur prinsip rumah tangga gue. Ke mana pun gue pergi, harus sama istri gue. Kalau enggak boleh, ya gue enggak akan datang!”

Di rumah, selagi istri tidak sedang sakit, pasti saya ajak untuk ikut dan bersiap-siap. Tiba di lokasi, akan saya perkenalkan dahulu kepada teman-teman. Akan saya pamerkan istri ke dalam dunia saya. Lalu setelahnya, jika istri tidak nyaman di situ karena asap rokok dan lain-lain, akan saya pesankan makan dan carikan kursi terpisah yang tetap bisa terlihat oleh saya maupun sebaliknya, agar kami bisa saling menjaga.

Iya, menjaga. Selain untuk dipamerkan pada dunia, keberadaan istri pun berfungsi untuk menjaga saya dari peluang-peluang tidak baik yang bisa saja muncul sepanjang ajang pertemuan. Keberadaan istri akan menjadi perisai, agar saya tidak terlena dengan hal-hal yang tidak seharusnya. Makanya, perisai ini harus di bawah ke mana-mana.

Dengan membawa istri, setidaknya saya bisa mengajarkan pada teman-teman bahwa kalau sudah menikah maka pasangan itu harus dibawa ke mana-mana. Bukan disimpan di rumah, sedangkan di luar tertawa-tawa.

Dengan membawa istri saya bisa memberi dampak positif buat teman-teman, bukan justru saya yang berpotenti terbawa dampak negatif yang bisa saja muncul sepanjang pertemuan.

Dengan membawa istri, setidaknya saya menjunjukkan bahwa larangan membawa pasangan ke ajang pertemuan bersama teman-teman, itu tidak berlaku dalam rumah tangga saya. Persetan dengan aturan semacam itu, tidak saya pedulikan.

Aturan pertemananlah yang harus menyesuaikan dengan aturan rumah tangga saya, bukan sebaliknya aturan rumah tangga yang dikorbankan demi mematuhi aturan pertemanan. Itu goblok, namanya. Acara bersama teman-teman itu kan sementara, sedangkan pasanganlah yang menemani kita 24  jamnya. Lagian, dengan membawa pasangan, bukankah kita akan merasa lebih sempurna, ya?

“Betul pikiran gue kan, Dit?” potong sahabat saya.

Saya cuma tersenyum tanpa suara. Sambil membatin, “Iya, istrimu emang jancuk. Harusnya dia tidak terus-terusan mengabaikanmu sendirian di rumah. Kalau semakin parah dan tidak berubah, kembalikan saja ke emaknya suruh nenen atau buang ke laut biar dimakan hiu. Jangan lanjutkan rumah tanggamu dengan seseorang yang tidak mau belajar!”

Rasanya, malas sekali membela wanita dengan jenis otak kopong seperti istrinya sahabat saya. Yang kerap mengabaikan suami demi urusan tidak penting di luaran. Goblok!

Bersyukur, istri saya tidak seperti itu …  

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.