Pramoedya Ananta Toer

“Orang boleh pandai setinggi langit, namun selama ia tidak menulis maka ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

– Pramoedya Ananta Toer –

6 Februari 1925 — Abadi

Pramoedya Ananta Toer dilahirkan di Blora pada tanggal 6 Februari 1925 dengan nama asli Pramoedya Ananta Mastoer.

Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan “Mas” dari nama tersebut dan menggunakan “Toer” sebagai nama keluarganya.

Rumah masa kecil Pramoedya Ananta Toer

Ibunya bernama Oemi Saidah, ia juga memiliki banyak saudara kandung yakni Soesila Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Oemisafaatoen Toer, Prawito Toer, Koenmarjatoen Toer, Soesetyo Toer, dan Soesanti Toer.

Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pada masa remaja, Pramedya Ananta Toer pernah mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan.

Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949.

Pramoedya Ananta Toer muda

1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis Tiongkok.

Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia.

Selama 3 tahun ia dipenjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969, pulau Nusa-Kambangan Juli 1969-16 Agustus 1969, pulau Buru Agustus 1969-12 November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses pengadilan.

Pramoedya Ananta Toer

Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI.

Namun Pramoedya Ananta Toer masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2 tahun.

Penjara tak membuatnya berhenti sejengkal pun menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar.

Karya Pramoedya Ananta Toer yang paling fenomenal adalah buku yang bertajuk Tetralogi Buru yang berisi 4 novel, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah kaca.

Tetralogi Pramoedya Ananta Toer

Buku-buku tersebut pernah dilarang pada 1981 oleh Kejaksaan Agung RI dengan surat larangan nomer SK-052/JA/5/1981.

Sejak larangan itu keluar, beberapa mahasiswa pernah dipenjara dengan tuduhan menyimpan dan mengedarkan buku. Alasan mendasar beberapa karya Pram dilarang karena ia dikait-kaitkan dengan Lembaga Kesenian Rakyat atau LEKRA, organisasi kebudayaan di bawah Partai Komunis Indonesia.

Baca tulisan lainnya : “Ketika Sartre Mengirim Mesin Tik untuk Pram”

Buku-buku karyanya yang pernah dilarang kini sudah dijual bebas. Namun surat larangan Kejaksaan Agung itu belum pernah dicabut walaupun peraturan yang menjadi dasar pelarangan buku-buku di Indonesia yang dianggap kiri atau berhaluan komunis sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010.

Dari tanganya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer dianugerahi pelbagai penghargaan internasional.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut.

Tepatnya pada 27 April 2006 Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah dijangkitnya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Dan akhirnya meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta.

Sumber: Tirto.id dan Merdeka.com

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.