Benarkah Bahagia itu Sederhana?

“Semua dari kita pasti ingin merasakan bahagia. Meski terkadang sebagian kita, ada yang tidak tahu apa arti bahagia.”

*****

Ini kan, ibarat mau ke toilet tetapi tidak tahu jalannya. Tersesatlah ke kandang ayam, ngerumpi dengan telur di sana.

Saya pernah mengisi acara di suatu perlombaan. Para pesertanya tampak begitu bahagia, padahal acara belum dimulai. Namun, kebahagiaan sudah terukir di wajah mereka.

Apa yang membuat mereka bahagia?

Mereka bahagia karena terwujudnya harapan untuk menjadi peserta lomba.

Pernah melihat anak kecil berhenti menangis saat memperoleh permen yang diharapkannya? Nah, itulah bahagia.

“Bahagia adalah kondisi saat keinginan atau harapan kita sudah terwujudkan. Sudah, itu aja. Titik.”

Lalu di manakah letak sederhananya?

Kesederhanaannya terletak pada definisinya itu, bukan pada proses mewujudkannya.

Sebab,  realitasnya tidak sedikit orang yang harus berjuang mati-matian untuk mewujudkan apa yang diharapkan. Demi kebahagiaan yang diinginkan. Proses yang tidak sederhana, bahkan terkadang rumit dan berdarah-darah.

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Kemungkinan terbesarnya adalah karena sebagian orang membuat harapan terlalu tinggi. Tidak terukur atau menabrak logikanya. Sudah tahu akan sulit diwujudkan, masih saja dipaksakan. Ujungnya, menyalahkan Tuhan. “Mengapa hidup ini tidak adil buatku?” kata mereka.  

Ketahui lebih dahulu apa harapanmu, lalu wujudkan. Karena perwujudan harapan, itulah kebahagiaan. Buat harapan yang terukur, terdekat, dan tidak bertentangan dengan logikamu. Itu kuncinya.

Jangan sampai, ingin bahagia tetapi tidak tahu apa yang diharapkan. Atau lebih parah, ingin bahagia, tetapi membuat harapan yang tidak masuk akal dan sudah jelas tidak akan bisa diwujudkan. Atau berdarah-darah dalam mewujudkannya.

Sini kubantu dirimu supaya bahagia, Yang. Peyang.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.