Antara Menulis, Membaca dan Nyupir Angkot

“Jika, andai, seumpama, menulis itu diibaratkan seperti nyupirin angkot, maka seharusnya kepercayaan dirimu saat menulis akan tetap baik-baik aja, pede-pede aja. Mengapa?!”

Enggak ribet bat bet bat bet mikirin ini dan itu ngikutin apa yang dipikiran oleh pembacamu. Siapa pembacamu? Ya, penumpang angkotmu itu.

Siapa bilang penumpang adalah raja?! Raja kok kerjaannya numpang. Raja itu, punya mobil sendiri, pake supir. Bukan selalu ganti-ganti angkot milik orang lain. Jadi siapa rajanya?

Ya supirlah, rajanya. Yang menguasai angkotnya. Termasuk berkuasa untuk membawa kemana angkotnya, jika jalur utama macet total dimana-mana. Yang penting sampai tujuan, selamat dan sebisa mungkin lewat jalan tercepat. Biar bahan bakar tetap hemat. Penumpang??

Bahkan penumpang cuma diem plonga-plongo aja. Enggak berani protes, enggak memberi perintah apa-apa. Manut, ngikut, sambil bingung gerangan kemana dirinya akan dibawa. Ada gitu, raja plonga-plongo, ndlongop, ngowoh, bingung manut semanut-manutnya? Ini kan, raja pe’a namanya. Supirlah sang raja. Titik!

Serupa dengan nyupirin angkot, setidaknya serupa pula ketika kamu menulis. Kamulah yang memiliki semesta tulisanmu. Kamulah penguasanya. Kamulah rajanya. Kamu mau membawa kemana tulisanmu, kamulah yang lebih tau. Enggak perlu terlalu merisaukan pikiran pembaca yang “mengatur” tulisanmu harus begini dan begitu.

Ada puluhan, ratusan, ribuan, bahkan mungkin nanti jutaan kepala pembaca yang memiliki pemikiran berbeda-beda atas tulisanmu. Mau kamu turutin semua mau mereka? Nyungsep aja ke laut.

Stress nanti kamu. Plonga-plongo, ngowoh, ndlongop seperti si raja pe’a tadi. Enggak jadi nulis akhirnya. Bengong di tepian kali, sambil liatin ikan ngobrol sama sandal jepit yang sedang mengambang.

Mendengarkan kritik membangun itu wajib. Tapi jika harus mengikuti pemikiran pembaca yang mengatur-ngatur tulisanmu dan jumlahnya banyak itu, eitss..nanti dulu. Tanyakan saja pada mereka “Situ sapa, ngatur-ngatur. Emak gue? Talk to my hand!” Cukup. Lalu kembali menulis lagi.

Kembalilah menulis sesuai dengan gayamu. Udah, pokoknya gayamu. Enggak usah pikirin kemauan pembaca yang mengatur-atur tulisanmu tadi. Tulis aja sesuai gayamu. Jangan khawatir, jika mereka tidak suka, masih ada miliaran manusia lainnya di planet ini yang akan menjadi pembacamu.

Tulis dengan gaya khasmu sendiri, nanti tulisanmu yang akan menemukan pembacanya. Gaya menulis, maksudnya. Bukan gaya salto atau koprol. Masa’ ngetik sambil salto, emangnya kamu pendekar penguasa ilmu wajan terbang?

Balik lagi ke nyutil. Eh, nyupir.

Nah. Sebagai supir yang baik, kamu jangan ugal-ugalan. Nyamankan penumpang. Jawab apa yang mereka tanyakan. Buat nyaman pembaca dengan diksi-diksi tutur bahasamu. Yang santun, yang penuh pesan baik. Jangan seperti tulisan ini. Semrawut enggak karu-karuan. Mules kan, Sampeyan?

Dan terakhir, sebagai penumpang. Jadilah penumpang yang cerdas. Bertanyalah untuk menguatkan keyakinan. Meskipun kamu telah membaca tulisan trayek angkot itu di kaca depan, tepi bertanyalah untuk memastikan tujuan.

Siapa tau angkot itu kali ini akan lewat jalur yang berbeda dari biasanya. Karena mau jemput emak-emak hamil yang mau ngelahirin jabang bayi kembar lima. So sebagai penumpang, pastikan bertanya, supaya enggak salah duga.

Begitu pula saat menjadi pembaca. Biasakan bertanya pada penulisnya, jika ada yang tidak dipahami maksudnya. Biar enggak salah duga pula. Biar enggak baper sendiri dibawah kolong meja. Mencret nanti kamu akhirnya.

Kalo enggak bisa komunikasi sama penulisnya?

Ya udah, tanyakan aja pada sendok dan garpu yang sedang pacaran. Gitu aja, kok cepot.

Oke, akhirnya. Kamu, adalah Tuhan bagi tulisanmu. Ingat itu!

Sini kupangku dudukmu, sayang. Sebentar lagi angkotnya akan segera berjalan. Anjut-anjutan kita, bergoyang-goyang. Cruut.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik….

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.