Menulis Adalah Bekerja untuk Keabadian

Mengapa membaca (iqro’!) diperintahkan dengan tegas, tapi perintah menulis tak diungkap secara jelas? Mengapa perintah-Nya adalah membaca, tapi nama surat dalam Kitab Suci-Nya yang ada justru mewakili pena?

Luar biasa Kitab-Nya!

Ternyata,…

Segala bacaan telah disediakan-Nya. Alam, semesta, aturan-aturan, Kitab-Kitab-Nya, dan segala yang adalah adalah bacaan dari-Nya. Tentang-Nya, bercerita tentang Diri-Nya. Tidak ada selain-Nya. Dari segala yang terhampar dan ada.

Sedangkan menulis, adalah tindakan perulangan. Menulis dari yang telah Dituliskan-Nya dalam ayat-ayat kauniyah dan kauliyah-Nya. Bagaimana kita menuliskannya?

Mulanya, dengan memikirkan semua dan bertindak mengikuti aturan-Nya. Lalu tulisakan menjadi bacaan-bacaan karya.

Memikirkan?

Iyes. Memikirkan, melalui perenungan dan tafakur-tafakur yang lama. Memikirkan tanda-tanda-Nya melalui tafsir-tafsir perintah Agung-Nya. Memikirkan goresan-goresan Kuasa-Nya di jagad raya. Kemudian menemukan jawabannya, lalu menuliskannya ulang agar dibaca banyak mata.

Bertindak?

Iya, bertindak. Karena jika menulis adalah salah satu cara bercerita dan berbicara, maka hendaknya kita bercerita dan berbicara hal yang pernah kita lakukan saja. Ingat kan, bahwa amat besar murka-Nya pada manusia-manusia yang berbicara tapi tidak betindak? Jadi tuliskan apa yang pernah kita perbuat saja.

Sepertinya Tuhan ingin kita bertindak lebih dahulu sebelum menuliskan apa yang kita lakukan itu. Karena pastinya Tuhan Yang Maha Mengetahui, Dia pasti tahu dengan pasti, bahwa tanpa tindakan, maka apa yang kita tuliskan akan menjadi miskin nyawa. Limbung ruhnya. Akan menjadi tumpul ujung-ujung pena-nya.

So, lets do something. Lets think everything…

Memikirkan, melakukan tindakan. Memikirkan kebaikan, bertindak untuk kebaikan. Lalu menuliskannya kemudian. Menjadi bacaan-bacaan sehingga ujung-ujung tanda KeAgungan-Nya akan terlihat atas izin-Nya.

Akhirnya, benarlah kata Pramoedya. Bahwa “menulis, adalah bekerja untuk keabadian!”

Mengabadikan apa yang kita pikirkan. Mengabadikan tindakan yang pernah kita lakukan. Melalui sebuah tulisan. Dan membaca (Iqro’!), akan tetaplah mulia pada posisinya.

Tetaplah menulis, meski daging telah berubah wujud menjadi sosis. Tetaplah menulis, meski ikan Lele suatu hari tak lagi berkumis. Dan tetaplah menulis segala rangkaian aksara, meski singkong telah berubah menjadi keripik dengan aneka rasa. Tetaplah menulis!

Menulis untuk kebaikan. Membaca untuk kebaikan. Menulis dan membaca, demi kebaikan.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.