Persiapan untuk Sendiri

Suatu kali dirimu bertanya padaku, “Mengapa meminta bantuan pada orang lain untuk mewujudkan niat baik itu tidak selalu mudah jalannya?”

Aku tersenyum.

“Apa pelajaran yang dapat kau ambil, Sayang?” Tanyaku.

Kemudian dirimu menjawab panjang lebar berbagai hikmah. Bahwa ternyata niat baik kadang tak selalu dipandang baik. Yang terlihat mampu, belum tentu mau. Ternyata manusia tak dapat dilihat dari tampilan luarnya saja. Ternyata ada banyak manusia yang hanya pandai berbicara. Ternyata banyak pula manusia lain yang tak ingin menampakkan kebaikannya. Ternyata, ternyata, ternyata dan masih banyak ternyata lainnya yang kau jelaskan padaku. Aku kembali tersenyum.

Sayang, pahami ini. Bahwa yang dirimu sampaikan itu, tidaklah salah. Namun ketahui pula hal lain yang tak kalah pentingnya dari semua itu.

Sejatinya diri kita adalah sendiri. Berjalan seorang diri tak ada orang lainnya. Kita, hanya bersama kebaikan atau keburukan diri saja yang menemani.

Mereka, orang-orang yang selama ini kau bantu, yang selama ini menyenangimu, yang selama ini memujimu, yang selama ini berdiri tepat di sampingmu, keluarga, saudara, teman, sahabat, bahkan juga aku, adalah manusia-manusia yang ditampilkan dalam lintasan hidupmu untuk sementara saja. Tidak selamanya. Bukan seterusnya. Tak selalu setia pada niat baikmu.

Oleh karenanya, tak perlu kaget jika yang selama ini kau anggap baik mendadak tak sepaham denganmu. Jika yang selama ini terlihat mampu, tiba-tiba enggan membantumu. Jika yang selama ini dekat, kemudian menjauhimu. Jika yang menyanjungmu, lalu justru mencibirmu.

Juga tak perlu heran bila berlaku sebaliknya.

Bila yang selama ini tak sepaham denganmu, mendadak baik padamu. Yang selama ini nampak tak mampu, tiba-tiba membantumu. Yang selama ini menjauhimu, kemudian muncul di hadapanmu. Bila yang membencimu, akhirnya dialah yang menguatkanmu. Tak perlu kaget, karena semua hal itu memang tak selamanya berlaku. Tak tetap. Paradoks semesta, tak setia pada waktu.

Yang selamanya setia adalah, dirimu dengan kebaikanmu. Atau, dirimu dengan keburukanmu. Dan jika boleh aku menyarankan berkawanlah saja dengan kebaikan, bukan keburukan. Walau kadang jalannya penuh tantangan.

Akhirnya, pahami hikmah besar dari semua ini, Sayang.

Bahwa kita sedang belajar untuk menghadapi kesendirian. Persiapan mati berkalang tanah seorang diri. Karena faktanya, jika di dunia saja mereka tak selamanya dapat membantumu. Apalagi kelak di sana nanti. Kita hanya seorang diri.

Tetaplah berkawan dengan kebaikan. Itu lebih mengasikkan.

Sini, izinkan kupeluk dirimu. Agar kau tak lagi merasa sendiri. Wajanku, Sayang.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.