Dua Lupa, Dua Ingat

“Akhirnya saya berhasil ngobrol dengan si suthil dari Planet Ontobrut. Ada pelajaran baik yang diajarkan olehnya tentang manusia-manusia berpasangan. Begini katanya.”

Dalam berpasangan, ingatlah ini. Supaya hubungan dapat uhuk-uhuk selalu, mesra dan bertahan selamanya sampe Planet Cybertron berjaya. Apa itu?

“Dua lupa, dua ingat.” Itu, wejangannya. Maksudnya?

Dua lupa adalah “lupakan kebaikan kita pada pasangan, lupakan keburukan pasangan pada kita”. Dua ingat adalah “ingat kebaikan pasangan pada kita, ingat keburukan kita pada pasangan”. Lupanya ada dua, ingatnya juga ada dua. Serba dua.

Sederhananya, rumus di atas adalah untuk menjaga agar ritme dalam berpasangan tetap berada pada batasannya.

Enggak lebih, enggak kurang. Enggak terlalu emosi, juga enggak terlalu lembek. Enggak terlalu ngegas, juga enggak ngerem melulu. Enggak waras, juga enggak gila.

Lupakan kebaikan kita pada pasangan. Menjaga agar kita tidak memiliki peluang untuk mengungkit. Ngerasa paling banyak memberi, paling banyak berbuat sehingga bisa menimbulkan keangkuhan dan superior dibanding pasangannya.

Lupakan keburukan pasangan pada kita. Bagaimanapun juga, rocker juga manusia. Begitu pula dengan pasangan kita. Enggak lepas dari salah. Melupakan sikap buruk yang perna dia lakukan terhadap kita, adalah cara mudah untuk membuat hubungan kembali ehem-ehem lagi.

Ingat kebaikan pasangan pada kita. Ini penting. Selain dapat menjadi pengendali amarah, dapat pula menjadi semacam stimulus agar kita melakukan kebaikan serupa padanya. Sukur-sukur bisa lebih baik. Iyalah, masa pasangan mulu yang berbuat baik. Malu-lah pada panci yang bergetar, kalo kita enggak melakukannya juga.

Ingat keburukan kita pada pasangan. Ini juga enggak kalah penting. Penting banget, malahan. Dengan selalu mengingat keburukan sekecil apapun yang pernah kita lakukan kepada pasangan, akan menjadi kontrol tersendiri supaya hal itu tidak terulang kembali. Iya, lah. Tujuan berpasangan kan untuk menambah nilai-nilai kasih dan cinta. Bukan untuk saling menyakiti dengan keburukan dan luka.

Di penghujung ocehannya suthil berpesan. Bahwa untuk hal-hal yang dirasa prinsip, wejangannya itu tidak serta merta dapat terus diterapkan. Karena hal prinsip membutuhkan komitmen perbaikan serta bergantung pada si pemiliki prinsip masing-masing. Sesuatu yang prinsip, biasanya tidak menerima pengualangan sebuah kesalahan.

Masih menurut suthil, kalo pasangan kita selalu ngulangin kesalahan serupa yang berkaitan dengan hal prinsip itu, maka perlu tanyakan saja padanya. “Mau segera berubah baik, atau dicemplungin ke laut lalu segera tinggalkan?”

Bahagia adalah pilihan. Perwujudannya, selalu membutuhkan keberanian. Jangan baperan. That’s it!

Paham kan, Sayang?

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.