“Menulislah, bahkan andai lingkunganmu seolah enggak mendukung untuk menulis lagi!”
Jika mau, kutil di seberang lautan yang enggak kelihatan, bisa kita temukan, kok. Jika mau.
Jika mau, bayangan kenangan yang menyakitkan, bisa kita hentikan dalam sekejapan, kok. Jika mau.
Jika mau, rengginang yang mulai retak di sudut toples pun, bisa kita sempurnakan kembali bentuknya, kok. Tentu jika kita mau.
Begitu juga dengan menulis.
Saat benar-benar mau menulis, maka seharusnya enggak ada alasan apa pun yang membuat kita berhenti melakukannya. Sekali lagi, jika mau. Kok.
Saya jadi teringat pernah menulis cerita lucu sambil menumpang ojek. Melintasi Jakarta yang padat, menuju lokasi seminar. Hanya menggunakan gawai mungil dan papan ketik dengan tombol yang terbilang kecil.
Menundukkan kepala sambil menulis di sepanjang jalan. Begitu sampai tujuan, done. Terbitkan di sosial madia, selesai. Memberikan hiburan bagi yang membaca.
Saya teringat juga, ketika terbaring dirawat di rumah sakit. Ada seorang perawat yang agak gimana gitu di sana. Menggoyahkan jari, untuk menuliskan puisi buatnya.
Tapi sayang, di kamar pasien enggak ada kertas. Hanya ada satu pena dan tissue gulung yang mojok di atas meja.
Akhirnya, saya tuliskan berpanjang-panjang puisi di tissue gulungan itu. Dan besoknya, saya hamparkan catatan puisi itu di atas kasur. Sambil menunggu perawat yang dimaksud dan berpura-pura tidur.
Kita dapat menulis di mana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apa saja.
Mereka para penulis yang telah melegenda, tetap menulis meski di dalam penjara, walau dalam hunusan senjata, bahkan dalam kondisi tertekan.
Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Pernah menulis karya-karyanya saat dirinya mendekam di penjara. Menggunakan kertas bungkus rokok yang dikumpulkannya. Sedangkan kita??
Menulislah, jangan pernah berhenti. Menulislah, bahkan andai lingkunganmu seolah enggak mendukung untuk menulis lagi!
Tetaplah menulis!
Kriiik,…Kriiik,…Kriiik…