Jangan Tolol Jadi Menteri Pendidikan. Banyaklah Membaca!

Mas Menteri ini kok mendadak aneh dan tololnya luar biasa. Saat ada sekolah mengajarkan disiplin pada muridnya melalui keseragaman, eh, dirinya malah bersuara agar aturan itu tidak ditegakkan. Dengan membenturkannya pada topik keberagaman, pula. Kan, Pe’A!

*****

Sedang ramai mengenai sekolah yang diduga oleh sebagian kalangan telah melakukan tindak intoleransi, melalui aturan pemakaian jilbab bagi anak didiknya. Sang Menteri ikutan bersuara. Namun, sepertinya doi kurang membaca. Sehingga asal njeplak, bicaranya!

Benarkah sekolah tersebut telah melakukan tindak intoleransi keyakinan beragama dan keberagaman melalui aturan pengenaan jilbab?

Sebelum menjawab, perlu dijelaskan. Bahwa makna jilbab di seluruh tulisan ini didefinisikan berdasar pada KBBI V, arti nomor dua dan tiga. Bukan arti nomor satu. Sebab arti nomor satu, rasanya masih perlu ditinjau kembali melalui diskusi yang panjang. Berdasar dengan melihat sejarah jilbab itu sendiri.

Tangkapan layar : Jilbab (KBBI V)

 

Dua fokus utama yang ingin dibahas melalui tulisan ini adalah:

1.Benarkah sekolah tersebut telah melakukan tindak intoleransi keyakinan umat beragama melalui aturan pakaian seragam jilbab?

2.Benarkah sekolah tersebut telah melakukan tindak intoleransi keberagaman melalui aturan pakaian seragam jilbab?

Mari kita bahas satu per satu dengan akal sehat, data, dan fakta yang ada. Agar dapat melihat permasalah secara mendalam, bukan kulitnya saja. 

1. Intoleransi Keyakinan Umat Beragama Melalui Aturan Pakaian Seragam Jilbab di Sekolah?

Membahas hal ini, tentu tidak terlepas dari kondisi bahwa ada pihak yang berpendapat bahwa dirinya telah dipaksa untuk mengenakan atribut yang menurutnya milik agama lain (dalam hal ini adalah jilbab) dan bukan identitas agama yang diyakininya.

Dan untuk mendalami pendapat tersebut, tentu kita harus lebih dahulu membuka catatan sejarah tentang jilbab. Demi mendapat jawaban, sebenarnya jilbab itu identitas milik agama apa, sih?

Perhatikan foto-foto di bawah ini.

Agama Sikh yang terdapat di India dan kerap disebut merupakan gabungan dari agama Islam dan Hindu

Anak-anak Kristen Orthodoks memakai kerudung dalam salah satu acara kebaktian

Biarawati dari gereja KRISTEN St Nicholas, Nizhni Novgorod Region, Rusia, 1904.

Bunda Irene, biarawati terkenal di kalangan Kristen Orthodoks Koptik, Kairo, Mesir
Kerudung Wanita Hindu
Pengambilan sumpah kebiaraan di gereja St. Nicholas, Končul, Serbia
Perempuan dari jemaah Kristen Orthodoks Old Believers dalam pakaian tradisional lengkap dengan kerudung dan sudah dibiasakan sejak masih kanak-kanak.
Perempuan dari kalangan Yahudi Ultra Orthodoks sekte Haredi Burqa
Perempuan dari kalangan Yahudi Ultra Orthodoks sekte Haredi Burqa
Perempuan Kristen dari Russian Orthodox Old-Rite Church
Perempuan mengenakan kerudung pada salah satu peringatan Natal di gereja Nativity, Bethlehem.
Potret sepasang pengantin dari jemaah Kristen Orthodoks Old Believers
Seorang wanita Kristen asal Pakistan.
Sepasang pengantin Rusia sedang melangsungkan ritual ibadat sakramen pernikahan

 

Setelah melihat foto-foto di atas, sudah ada sedikit jawaban, ya. Bahwa jilbab bukanlah identitas milik satu agama saja. Tidak dikenakan khusus oleh satu agama saja.

Namun demikian, mari kita ulas lebih jauh tentang jilbab. Agar benar-benar mendapat jawaban, sesungguhnya jilbab itu identitas milik agama apa?

Tetapi jangan sakit hati, apalagi sakit gigi. Sebab, nyatanya banyak sekali penelusuran ilmiah yang menyimpulkan bahwa sejarah lahirnya jilbab justru tidak ada kaitannya sama sekali dengan identitas agama atau keyakinan tertentu. Sebab kala itu, jilbab benar-benar hanya sebatas kain yang tidak ada bedanya dengan pakaian lain. Meski ada fungsi sosialnya.

Di Turki pada tahun 2006, misalnya. Seorang arkeolog pakar Sumeria bernama Muazzez Ilmiye Cig, dalam bukunya berjudul My Reactions as a Citizen, malah menyebut bahwa lahirnya jilbab ada kaitannya dengan prostitusi pada masa peradaban Sumeria.

Menurutnya, asal-usul jilbab sudah dilacak sejak peradaban Sumeria di wilayah Mesopotamia (kini wilayah Irak tenggara) 5.000 tahun silam. Jauh sebelum Islam hadir.

Saat itu, sudah banyak perempuan yang mengenakan jilbab. Digunakan oleh perempuan yang bekerja di prostitusi di kuil-kuil, untuk membedakannya dengan biarawati di kuil tersebut. Meski akibat pernyataannya ini Cig digugat oleh pengadilan Turki, tetapi akhirnya divonis bebas karena dinyatakan tidak bersalah.

Dalam penelusuran ilmiah lainnya, dinyatakan bahwa hijab juga tampak mencolok pada tradisi Yahudi dan Kristen. Dr Menachem M. Brayer (Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva) dalam bukunya, The Jewish Woman in Rabbinic Literature, menulis tentang kewajiban pemakaian jilbab oleh wanita-wanita Yahudi.

Dr Menachem mengutip pernyataan rabi (pendeta Yahudi) zaman dahulu yang cukup terkenal, ”It is not like the daughters of Israel to walk out with heads uncovered” (tidaklah pantas anak-anak perempuan Israel berjalan keluar tanpa penutup kepala).

Dirinya juga mengutip kata-kata populer lain, ”Cursed be the man who lets the hair of his wife be seen … a woman who exposes her hair for self-adornment brings poverty” (terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut istrinya terlihat … wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa kemelaratan).

Lebih lanjut Menachem menjelaskan, jilbab bagi wanita Yahudi tidak selalu berhubungan dengan kesopanan. Kadang-kadang ia menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi. Oleh karena itu, banyak wanita Yahudi di Eropa tetap menggunakan jilbab sampai abad ke-19 M meski mereka hidup di tengah budaya Barat sekuler.

Sementara itu, dalam agama Kristen, sampai hari ini para biarawati Katolik masih menutup kepalanya. Tradisi ini sudah ada sejak 400 tahun yang lalu. Dikisahkan Menachem, agamawan Kristen dari golongan Amish dan Mennonites pernah mengatakan, ”The head covering is a symbol of woman’s subjection to the man and to God” (penutup kepala adalah simbol dari kepatuhan wanita kepada laki-laki dan Tuhan).

Murtadha Muthahhari dalam bukunya Hijab Gaya Hidup Wanita Muslimah juga menyatakan bahwa hijab dan kain kerudung sudah ada di tengah sebagian kaum sebelum Islam. Penduduk  Iran tempo dahulu, kelompok Yahudi, dan juga bangsa India merupakan bangsa pemakai jilbab.

Jilbab juga digunakan sebagai pakaian yang terhormat oleh kaum wanita Zaroaster, Hindu, Yahudi, dan Kristen. Bahkan hingga dewasa ini, wanita-wanita Yahudi tetap mengenakannya bila mereka mengunjungi sinagog (gereja Yahudi). [S.W.Schneider, 1984, hal. 238-239].

Dalam Hukum Rabi Yahudi, wanita Yahudi yang sudah bersuami namun tidak berjilbab akan dipandang  sebagai wanita yang tidak terhormat. Dan melarang pembacaan doa di depan wanita yang sudah menikah tanpa menutup kepala, karena dianggap sebagai wanita telanjang. Wanita ini bahkan dianggap sebagai wanita yang merusak kerendahan hatinya serta didenda dengan empat ratus zuzim karena pelanggarannya.[ibid, h. 74-75].

Dalam Kristen melalui Korintus 11: 5-15 malah pertanyaannya jelas:

“Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung? (….)”

Dalam Korintus I, 11: 7-9 juga dinyatakan bahwa menutup kepala bagi wanita itu sebagai simbol otoritas laki-laki yang merupakan bayangan dan keagungan Tuhan, karena wanita diciptakan dari laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki pula.

Dalam kaitan ini, Abu Ameenah Bilal Philips menegaskan bahwa dalam kanon Gereja  Katolik  terdapat artikel hukum yang mewajibkan wanita untuk menutup kepala mereka saat berada di  Gereja. Bahkan sekte-sekte Kristen, seperti kaum Amish dan Mennonite memelihara kerudung bagi kaum wanitanya hingga saat ini. [“Agama Yesus Yang Sebenarnya”, Abu Ameenah Bilal  Philips,(Jakarta: Pustaka Dai, 2004), h. 179].

Kristen Ortodoks Syria / Suriah yang sudah ada sejak abad 5 Masehi, lebih tua dari agama Islam yang baru lahir pada abad 6 Masehi, merupakan salah satu sekte aliran Kristen yang ajarannya begitu persis dengan Islam. Dari mulai tata cara peribadatannya hingga cara berpakaiannya. Kalangan perempuan pemeluk sekte ini, juga mengenakan jilbab plus pakaian panjang ke bawah hingga di bawah mata-kaki.

Aliran Kristen Ortodoks Syria

Di luar fakta-fakta di atas, teks “hijab” sendiri tidak hanya ditemukan atau disebutkan dalam satu agama saja, misalnya hanya dalam Islam. Tidak. Tetapi, dapat ditemukan juga dalam teks-teks keagamaan umat lain seperti Kristen dan Yahudi yang jauh lebih dahulu ada sebelum Islam diperkenalkan.

Bahkan kalau mau mengkaji dari aspek sejarah dan antropologi Islam, dalam hal berjilbab ini, umat Islam Arab kala itu hanya meniru atau mempraktikkan tradisi dan kebudayaan yang sudah ada di kalangan masyarakat non-Muslim Arab dan non-Arab di Timur Tengah (termasuk Persi, Assyria, dlsb), baik masyarakat agama Yahudi, Kristen dan lainnya. Sudah banyak sekali kajian-kajian ilmiah yang membahas tentang hal ini.

*****

Nah, melihat fakta-fakta ilmiah di atas yang membuktikan bahwa jilbab tidak dikenakan khusus oleh satu agama saja dan bahkan sebagian pakar lain mengatakan bahwa kelahirannya tidak melulu ada hubungannya dengan identitas suatu agama, maka apakah benar bisa dikatakan ada tindakan intoleransi keyakinan umat beragama melalui aturan seragam jilbab di sekolah? Intoleransinya di mana, coba??

Oleh karena itu, terasa aneh bin ajibon, bila ada si A yang beragama K, merasa kebebasan beragamanya telah dirampas hanya karena disuruh mengikuti aturan mengenakan jilbab sekian jam demi keseragaman di sekolah. Padahal jangan-jangan, dalam agama K yang dianutnya, ada golongan yang mengenakan jilbab juga namun dirinya tidak mengetahui. Bisa dipastikan, si A ini termasuk umat yang tidak membaca sejarah agamanya sendiri. Intolerannya di mana, coba?? Koplak!

2. Intoleransi Keberagaman Melalui Aturan Seragam Jilbab di Sekolah?

Sebenarnya, masalah jilbab di sekolah ini pernah terjadi juga sebelumnya. Yakni tahun 1983. Namun, kala itu Menteri Pendidikannya jeli memandang sebuah aturan. Tidak seperti Mas Menteri. Ada bahlulnya, bila tidak ingin dikatakan serampangan.

Kala itu, Menteri Pendidikannya tegas menegaskan. Bahwa yang namanya seragam, ya harus sama bagi semua yang mengenakan. Sebab, bila ada satu saja yang tidak sama, maka namanya bukan seragam. Sesederhana itu memahaminya. Menteri Pendidikannya kala itu lebih mengedepankan bagaimana dan apa tujuan aturan itu dibuat. Tidak membawa-bawa hakikat keberagaman segala.

Namanya aturan seragam, ya agar semuanya seragam. “Seragam” kan artinya “satu ragam”. Tidak ada satu pun yang berbeda. Masa urusan arti kata semacam ini saja Mas Menteri tidak memahami?? Suruh saja doi sering buka KBBI!

Berbicara aturan seragam, ya, jangan dibenturkan dengan kacamata keberagaman. Sebab bila mau berbicara keberagaman, ya tidak perlu ada aturan seragam.

Suruh saja Mas Menteri membuat aturan agar sekolah tidak perlu memakai seragam. Pakaian bebas, supaya warna-warni sekalian. Ini kenapa Mas Menteri mendadak jadi o’on begini, sih?

Berbicara keseragaman, ya, melihatnya dengan kacamata sila persatuan, dong. Bahwa meski berbeda-beda keyakinan di hati, namun saat di sekolah, siswa-siswi tetap bisa disiplin mematuhi aturan yang ditegakkan. Termasuk aturan seragam. Kan, begitu!

Bila perlu, Mas Menteri angkat pernyataan siswi-siswinya yang mengaku tak keberatan dan merasa tidak dirugikan dengan mengenakan jilbab. Gaungkan pernyataan siswi-siswi yang mengatakan bahwa masalah keimanan mereka tak terganggu hanya gara-gara menggunakan jilbab.

“Tidak ada unsur paksaan. Dan saya juga sudah dari SMP memakai jilbab ini. Walau di sekolah pakaian saya seperti ini (pakai jilbab) iman saya tetap percaya Tuhan Yesus. Tak ada tekanan batin kalau pakaian pakai jilbab.”

“Pakaian seperti ini (pakai jilbab) hanya atribut saja kok. Identitas saya sebagai pelajar. Tidak ada kaitan dengan masalah iman. Sudah sejak SMP saya memakai jilbab ke sekolah, saya tidak pernah minder.”

Sambil Mas Menteri membuka pengetahuan baru pada masyarakat. Bahwa berdasar sejarahnya, jilbab bukanlah identitas khusus satu agama. Sehingga masyarakat semakin terdidik oleh Menteri Pendidik, masyarakat semakin tercerahkan dengan pengetahuan oleh Mas Menteri Pendidikan.

Angkat pernyataan siswi-siswi yang seperti itu, gemakan. Ini namanya membela sekolah dalam menegakkan disiplin anak didik melalui aturan keseragaman.

Bukannya malah membela siswi yang “membangkang” pada aturan sekolah, dengan dalih telah dibelenggu HAM dan keyakinannya. Yang sangat patut diyakini, bahwa siswi tersebut paling tidak tahu sama sekali tentang jilbab dan sejarahnya. Jangan-jangan di agamanya, jilbab dikenakan pula.

Mas Menteri datangilah sekolah itu bila perlu. Lihat sendiri tingginya toleransi di sana. Bukan was-wes-wos ngomyang sendiri lewat video ala-ala, sambil bicara aturan-aturan segala. Kurang tepat pula memahaminya!

Eh, Mas Menteri. Saya beri tahu tempe. Pernyataan sampean itu, tanpa disadari telah merampas kebebasan sekolah untuk menata dan menegakkan aturannya sendiri, lho!

Sampean ini, kok, tidak berpikir bahwa guru-guru di sekolah tersebut pasti pintar-pintar. Sehingga bisa dipastikan bahwa mereka tidak mungkin membuat aturan yang bertentangan dengan keyakinan beragama anak didiknya. Apalagi menyenggol dan memaksanya dalam tindakan intoleransi. Ya tidak mungkin, lah. Apa mau dipecat mereka?    

Sekolah adalah pemegang kuasa penuh atas aturan keseragamannya. Ini kan tidak jauh berbeda dengan sebuah perusahaan yang mengatur tentang keseragaman karyawan, yang harus dipatuhi oleh semua yang ada di dalamnya.

Dan lagi, aturan keseragaman semacam itu kan hanya sementara saja, yakni ketika mereka berada di lingkungan itu. Demi semua terlihat sama ketika berada di situ, demi kedisiplinan bersama-sama, dan seterusnya. Perkara setelah keluar dari lingkungan itu mereka mau telanjang, ya, silakan.

Mas Menteri ini kok mendadak aneh dan tololnya luar biasa. Saat ada sekolah yang hendak  mengajarkan disiplin pada muridnya melalui keseragaman, eh, dirinya malah bersuara agar aturan itu tidak ditegakkan. Dengan membenturkannya pada topik keberagaman, dan pembuat aturannya hendak diberi sanksi pula. Kan, Pe’A!

Selain itu, Mas Menteri juga tidak sadar. Bahwa ketika mengatakan pihak lain intoleran, sejatinya dirinya pun telah intoleran juga.

Tatkala Mas Menteri memaksa sebuah sekolah untuk mengubah aturan seragam yang telah mereka yakini benar, mendadak aturan itu harus diubah agar sesuai dengan kebijakan Mas Menteri berdasar aturan lain yang menjadi dasar pemahaman Mas Menteri sendiri. Ini apa namanya jika bukan intoleransi juga?

Akan terasa sulit bagi sekolah tersebut untuk menegakkan kembali disiplin keseragaman di lingkup sekolah itu, nantinya. Lihat saja. Sebab, Mas Menteri sendirilah yang telah membeda-bedakannya. Dengan dalih keberagaman, yang sebenarnya tidak ada kaitannya sama sekali dengan aturan kedisplinan dalam berseragam. 

Memang aneh-aneh Mas Menteri dari planet Hulahula yang dimaksudkan dalam tulisan ini. Sangat berbeda dengan Mas Menteri yang ada di Indonesia, yang  berdarah muda, jauh pandangannya. Dan … “sesuai aplikasi kan, ya?”

*****

Mulai saat ini, jangan pernah lagi anggapan bahwa jilbab adalah identitas satu agama saja. Sebab faktanya, agama lain pun banyak yang mengenakannya pula. Bahkan mula kelahirannya, tidak ada kaitannya dengan agama mana pun sama sekali.

Sehingga dengan mengetahui fakta tersebut, sebagai umat beragama, kita tidak perlu lagi  mudah tersinggung, tidak perlu baper mudah merasa dilecehkan, mudah melecehkan, atau merasa dirampas kebebasan beragamanya. Apalagi sampai bicara HAM segala. HAM yang mana, coba? 

Baca sejarah, agar kita menjadi tahu tempe. Bahwa jangan-jangan kita ini adalah sama, karena leluhurnya pun memiliki kesamaan pula. 

Belajar sejarah itu penting. Agar tidak mudah saling tersinggung, tidak mudah terhina, apalagi saling bunuh. Sebab bila kita merasa memiliki leluhur yang sama, maka detik ini dan seterusnya, kita pun akan selalu merasa bahwa kita semua adalah saudara.

Tetap jaga persatuan!

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

*)Dari berbagai sumber. Diolah seperlunya.

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.