Poligami Adalah Spiritualitas Tertinggi. Really?

“Jika ada jalan menuju tingkatan spiritualitas tertinggi yang tidak memiliki peluang untuk menyakiti sesama makhluk Tuhan, apakah dirimu akan mengambil jalan lain dengan tujuan yang sama, tetapi berpeluang menyakiti sesama manusia apalagi seorang wanita?!”

Saya berbincang dengan salah seorang motivator muda. Sangat muda. Dia bercerita tentang ajaran guru di akademinya, disebutkan bahwa seorang pria belum bisa dikatakan telah mencapai spiritualitas tertinggi jika belum berpoligami (baca : poligini). Saya terus mendengarkan ceritanya.

Lawan bicara saya ini adalah jebolan sebuah akademi yang telah melahirkan banyak motivator di negeri ini. Pendirinya, pun sering nongol di tipi-tipi. We know lah. 

Ia bertutur, bahwa di akademinya ditekankan hal semacam itu. Untuk memiliki lebih dari satu istri, agar tercapai spiritualitas tertinggi. Dan enggak sekadar teori, sang empunya akademi pun mencontohkannya. Memiliki lebih dari satu istri juga.

Baca juga : Melihat Poligami dari Kacamata yang Cerdas! (Bagian-1)

Di sisi yang lain, lawan bicara saya ini tidak tahu. Bahwa saya telah banyak mendengarkan cerita dari rekan motivator se-akademinya juga, yang gagal dengan meraih spiritualitas tertingginya, melalui cara poligami itu.

Ada yang memaksa istri pertama untuk menanda tangani dan menyetujui pernikahan dengan wanita lain. Ada yang subuh-subuh meninggalkan istri pertamanya yang sedang hamil muda demi “meminta jatah” pada mantan istri kedua yang udah ditalaknya.

“Istri gue lagi hamil muda. Engga bisa ngelayani. Elu harus ngelayanin gue, karena elu masih istri gue!”. Begitu yang saya pernah dengar. 

Belum lagi cerita lain tentang melakukan banyak cara termasuk cekokan dogma yang dipelintir untuk “membodoh-bodohi” wanita. Yang intinya, demi agar dinilai oleh sesama rekan motivator di komunitasnya bahwa dirinya telah mencapai spiritualitas tertinggi. Berpoligami!

Lalu saya ambil selembar kertas. Dan meminta nalarnya memandu untuk mengisi tabel yang saya buat.

Setelah tabel itu terisi, sebuah pertanyaan saya ajukan.

“Jika ada jalan menuju tingkatan spiritualitas tertinggi yang tidak memiliki peluang untuk menyakiti sesama makhluk Tuhan, apakah dirimu akan mengambil jalan lain dengan tujuan yang sama, tetapi berpeluang menyakiti sesama manusia apalagi seorang wanita?!”

Mendadak dia berdiri dan pamit ke toilet. Mungkin ingin ngobrol sama sabun.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.