Ketika Khadijah Menyatakan Cinta pada Al Amin

“Seketika tubuh Al Amin bergetar. Menyadari bahwa Khadijah baru saja menceritakan tentang dirinya sendiri!”

Setelah mendekatkan perasaannya pada Muhammad Al Amin, setelah menanyakan arti mimpi pada pamannya Waraqah yang juga orang pintar di Arab tentang matahari yang berputar-putar di atas Makah, setelah Waraqah menafsirkan bahwa dirinya akan menikah dengan manusia agung yang ketenarannya mendominasi jagat semesta, setelah mengutus sahabatnya Nafisah untuk menanyakan perasaan Muhammad Al Amin pada dirinya dan setelah berbagai usaha dilakukan demi menyempurnakan perasan cinta pada Al Amin yang ia kagumi sejak awal pertama mengenalnya, akhirnya terjadilah perbincangan romantis penuh keridaan Ilahi. Antara Khadijah dengan Muhammad Al Amin.

Ya, Khadijah yang kala itu belum menjadi ummul mu’minin, sejatinya telah memiliki perasaan cinta pada Muhammad. Ketika itu, Muhammad belum menjadi rasul dan baru bergelar Al Amin. Namun kecintaan Khadijah pada Muhammad Al Amin adalah kecintaan yang didasari kejujuran dan spiritualitas.

“Apa yang dapat kulakukan untukmu?” tanya Khadijah pada Al Amin ketika Muhammad mendatangi rumahnya. Putra Siti Aminah itu hanya diam.

Muhammad tidak mampu berucap sepatah kata pun. Rasa malu lebih menyelimuti dirinya yang santun. Penuh kesopanan yang tinggi. Lidahnya kelu. Semakin tertunduk sempurna dalam kesucian martabat sebagai seorang pria.

Baca juga : Benarkah Mayoritas Penghuni Neraka Adalah Wanita?

Khadijah yang sesungguhnya telah tahu maksud kedatangan Muhammad, kembali memecah keheningan. Wanita mulia itu mengambil perannya untuk menata suasana. Mengajukan sebuah pertanyaan, adalah cara cerdas yang akhirnya Khadijah lakukan.

“Apakah boleh aku bertanya satu hal padamu?” pertanyaan Khadijah mencairkan situasi. Menenangkan Al Amin, dengan penuh kasih pada pujaan hati.

“Silakan.”

“Apa yang akan kau lakukan dengan upah dagang yang kau dapat dari kerjamu?”  

Putri Khuwailid nan cantik itu mulai to the point. Satu pertanyaan yang langsung menjurus pada inti. Cerdas. Khadijah, ummul mu’minin memang wanita yang sungguh cerdas.

“Apa maksudmu?” tanya Al Amin.

“Aku ingin tahu apakah diriku dapat melakuan sesuatu untukmu?”

Mulianya sikap Khadijah. Dia menawarkan bantuan, tanpa merendahkan pujaan yang ia muliakan.

Wanita berakal yang seluruh wujudnya telah dikuasai oleh api asmara itu, lebih memilih menggunakan kalimat yang mengarah pada apakah dirinya memiliki kemampuan untuk membantu. Merendahkan hati, bukan menyombongkan diri.

Padahal sudah sangat jelas. Sebagai wanita kaya raya yang juga bos bagi keponakan Abu Thalib itu, dirinya pasti sangat mampu. Namun di hadapan Muhammad sang pujaan hati, dia tak ingin merasa lebih tinggi.

 

“Pamanku menginginkan aku menikah dengan upah dagang yang kudapatkan itu,” jawab Al Amin menirukan apa yang disampaikan pamannya, Abu Thalib .

Senyum Khadijah mengembang. Bercampur kebahagiaan.

“Apa kamu setuju jika aku mewujudkan keinginan pamanmu? Aku kenal seorang wanita yang dari segi kesempurnaan dan kecantikan sangat sesuai denganmu. Seorang wanita baik, suci, dan berpengalaman. Banyak orang terpandang yang ingin meminangnya. Sehingga membuat wanita-wanita pembesar di jazirah Arab iri padanya. Wahai Muhammad Al Amin, aku sampaikan pula padamu tentang kejelekan wanita itu. Bahwa dirinya pernah bersuami dua kali.”

“Siapakah namanya?” tanya Al Amin.

“Khadijah!”

Seketika tubuh Al Amin bergetar. Menyadari bahwa Khadijah baru saja menceritakan tentang dirinya sendiri.

Muhammad tidak berani mengangkat kepalanya. Makin menunduk tidak tahu harus berkata apa. Diam, dalam keheningan hati dan kejernihan pikiran yang sangat dalam. Suasana kembali hening.

Diamnya Muhammad, semakin menunjukkan kewibawaan dan kesantunan sebagai lelaki mulia. Membuat air mata Khadijah menetes. Sungguh, ia semakin mencintai Muhammad atas dasar besar cintanya pada Tuhan yang diyakini oleh Al Amin.

“Mengapa engkau tidak menjawabku? Demi Tuhan, aku sangat mencintaimu. Dan tidak akan pernah menentangmu dalam setiap keadaan serta ujian. Hatiku telah tertambat padamu. Di taman hatiku, terdapat kecintaan untukmu. Jika engkau tidak menerimanya, ruhku akan terbang dari raga,” ucap Khadijah.

Al Amin hanya makin tertunduk. Jiwanya bersimpuh dalam keagungan.

“Mengapa engkau hanya diam dan tidak menjawabku? Sungguh, kerelaanmu adalah kerelaanku. Dan aku akan selalu menaatimu sepanjang usiaku,” Khadijah melanjutkan.

“Mengapa kau berkata seperti itu? Dirimu adalah ratu Arab. Dan aku hanya seorang pemuda yang bekerja dengan berniaga,” akhirnya Al Amin bersuara.

Baca juga : Poligami Adalah Spiritualitas Tertinggi. Really?

Dengan kelembutan dan bijak dalam tutur, Khadijah meyakinkan lelaki agung yang ada di hadapannya itu. Sosok yang kelak akan di puja oleh semesta. Sosok yang kelak akan ia bela sepenuh hidupnya. Dengan darah dan daging serta napas cinta sucinya. Penuh kasih, ia menyampaikan puncak harapan kepada sang pujaan.

“Duhai, Al Amin. Jika ada orang yang rela mengorbankan jiwa untukmu, apa ia akan lebih memilih untuk mempertahankan hartanya? Wahai putra kepercayaan Makkah, wahai pondasi wujud dan seluruh harapanku, akan kututupi kepapaanmu. Segala bentuk material dan sosialku akan kukorbankan untukmu. Wahai matahari Makkah yang benderang, memancarlah dari jendela harapanku hatiku. Wujudkanlah harapan pamanmu yang sudah tua. Yang selalu berharap agar engkau segera bersanding dengan seorang wanita. Janganlah kau cela aku. Berikanlah ruang hak kepadaku, dan lihatlah di dalamnya aku tergila-gila padamu. Zulaiha dan para wanita Mesir pernah tergila oleh pesona Yusuf, kini sungguh aku dapat mengetahui rasanya. Engkau sangatlah agung. Jangan kau buat aku putus asa. Demi Ka’bah dan bukit Shafâ, jangan kau usir aku dari hidupmu. Bangun dan pergilah temui pamanmu. Sampaikan padanya untuk segera meminangku. Dan lihatlah nanti, engkau akan mendapatiku sebagai wanita yang tegar dan setia di setiap embusan napasmu.”

Tak lama berselang setelah hari itu, pernikahan pun dilangsungkan.

*****

Baca juga : Surga Istri Sepenuhnya Terletak pada Suami. Benarkah?

Abu Thalib telah selesai menyampaikan pembicarannya. Sebagai tanda berakhirnya sambutan dari pihak lelaki. Paman Khadijah, Waraqoh kemudian ingin memulai ijab pernikahan. Namun, mulutnya terasa berat. Dirinya tidak bisa menyampaikan apa-apa sebab bahagia menyaksikan pernikahan agung itu. Melihat situasi yang terjadi, akhirnya Khadijah mengambil peran.

“Paman … sekalipun engkau adalah pemegang semua urusanku dan saksi kehidupanku, tetapi melihat keadaanmu, kali ini izinkan aku maju untuk menggunakan hakku.” Dengan gagah namun tetap penuh kelembutan, akhirnya Khadijah mengucapkan akad nikahnya sendiri.

”Muhammad yang mulia. Aku nikahkan diriku untukmu dengan mas kawin serta biaya perkawinan ini aku ambil dari kakayaanku yang telah lebih dahulu kuserahkan dan menjadi milikmu. Segerakanlah untuk menyembelih unta serta menyiapkan resepsi pernikahan. Dan masuklah ke rumah istrimu kapan saja engkau mau.”

*****

Siti Khadijah yang kemudian menjadi ummul mu’minin. Yiatu seorang wanita pengagung cinta karena Tuhan-nya. Mencintai pujaannya, dengan terus-menerus menjaga kemuliaannya. Yang ia buktikan sejak pertama ijab diikrarkan, berlanjut di setiap detiknya setiap napas diembuskan. Hingga dirinya tak bernapas lagi.

Kelak ketika Khadijah binti Khuwailid wafat, masa itu dikenal dengan sebutan “Aamul Huzni”. Atau kita lebih sering mendengarnya dengan nama Tahun Kesedihan. Sebab Rasul Muhammad SAW sangat bersedih pada saat kepergian istrinya itu.

Dialah Khadijah … wanita pertama yang begitu memuliakan Al Amin.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.