Cinta Palsu Kita pada Batik!

“Faktanya, kain yang sering kita duga sebagai “batik” dan dikenakan sehari-hari itu, sesungguhnya bukanlah batik!”

Saya termasuk pecinta batik. Meskipun bukan pakar, namun paling tidak pengalaman pernah bekerja sebagai IT Admin di Museum Batik Pekalongan (dahulu bernama Museum Batik Indonesia di Kota Pekalongan) memaksa saya untuk mendalami warisan budaya yang awalnya tidak saya pahami tersebut.

Saat proses pengajuan batik sebagai nominasi warisan budaya tak benda ke UNESCO, saya turut berperan aktif dalam kegiatan itu. Bersama beberapa stake holder dan tokoh batik nasional.

Bahkan, saat itu sayalah yang membuat peta digital sebaran wilayah batik nusantara. Sebagai kontribusi nilai sejarah perkembangan batik di Indonesia. Peta digital tersebut, selanjutnya saya serahkan pada perwakilan dari UNESCO bernama Mr. Gaura.

Melalui catatan sederhana ini, saya ingin berbagi pengetahuan. Dengan harapan, kecintaan kita pada Batik akan semakin bertambah. Bukan teriak-teriak mencintai batik namun sekadar di mulut saja, atau sebatas dengan mengenakannya saja. Melainkan, dengan memahami batik sepenuhnya.

Baca hingga tuntas …

Baca tulisan lain : @Wanita.Menulis

Pertama. Sebagian literatur mengatakan bahwa “batik” berasal dari kata “babat” dan “titik”. Maksudnya adalah membabat, menggoreskan, mempertemukan titik yang satu dengan titik lainnya menggunakan malam (lilin batik) dan canthing sebagai alatnya.

Jadi, proses batik dapat diartikan secara sederhana yaitu menggoreskan malam (lilin batik) dengan menggunakan canthing (baik canthing tulis maupun canthing cap) pada kain.

Membaca paragraf di atas, maka perlu diingat, bahwa sebuah kain tekstil dapat disebut kain batik jika dan hanya jika proses pembuatan motifnya menggunakan malam (lilin batik). Bila tidak, maka jangan pernah menyebutnya batik. Apalagi menyebutnya di depan pakar batik. Bisa kena omel!

Kedua. Berdasar alat yang digunakan, batik dibagi menjadi tiga kelompok. Yaitu batik tulis (proses pembuatannya menggunakan canthing tulis), batik cap (proses pembuatannya menggunakan canthing cap) dan batik kombinasi (proses pembuatannya menggunakan canthing cap dan canthing tulis).

Ketiga. Sejatinya, nilai batik yang asli cenderung mahal. Sebab proses pembuatannya memang cukup memakan waktu.

Namun saat ini, “batik” dapat diperoleh dengan harga relatif murah. Karena faktanya, kain yang sering kita duga sebagai “batik” dan dikenakan sehari-hari itu sesungguhnya bukanlah batik!

Para pakar batik menyebutnya “kain tekstil bermotif batik”. Meskipun para produsennya ngotot menyebutnya dengan istilah “batik printing“. Namun tetap saja, itu bukanlah batik. Sebab tidak pernah ada istilah “batik printing“.

Ingat, kain disebut batik jika dan hanya jika prosesnya menggunakan malam (lilin batik) yang bersifat alami. Sedangkan kain tekstil bermotif batik yang sering kita kenakan itu, prosesnya dengan cara disablon (printing). Dan itu bukan menggunakan malam, melainkan tinta kimia yang limbahnya sangat berbahaya bagi lingkungan!

Baca tulisan lain : Menderita atau Menjanda?

Empat. Sangat mudah membedakan apakah pakaian kita benar-benar batik atau bukan. Lihatlah secara bolak-balik. Jika memiliki sisi yang warnanya sama, sudah dipastikan itu adalah batik. Namun, jika salah satu sisi kainnya memiliki warna yang berbeda (pudar keputihan dan warna kedua sisi tidak sama), dapat dipastikan bahwa itu adalah kain tekstil bermotif batik (baca : sablon motif batik/”batik printing”/batik palsu). Cara lain, cium kainnya. Anda dapat membedakan mana aroma lilin dan mana aroma tinta sablon kimia.

Lima. Kehadiran para pengusaha sablon kain bermotif batik ini, menjadi dilematis. Di satu sisi dapat mengangkat ekonomi masyarakat karena perputaran ekonominya yang cepat sebab harganya relatif lebih murah dari batik asli. Namun, di sisi lainnya menggerus secara perlahan keberadaan pengrajin batik asli itu sendiri.

Saat pengrajin batik menyelesaikan selembar mori untuk dibatik berhari-hari bahkan berbulan-bulan, para pengusaha sablon kain bermotif batik dapat menyelesaikan bergulung-gulung kain dalam waktu yang lebih cepat. Kemudian segera dilempar ke pasaran.

Selain itu, keberadaan kain tekstil bermotif batik juga dapat mengurangi nilai luhur yang dikandung dalam batik. Terutama kesakralan proses pembuatannya.

Batik yang asli, penuh dengan ritual serta filosofi dalam proses pembuatannya. Sedangkan kain tekstil bermotif batik, tinggal memoleskan tinta kimia diatas screen sablon, selesai. Ironis!

Baca tulisan lain : Pria, Wanita dan Poligami

Keenam. Tanpa disadari sebab kurang memahami, bila Anda membeli kain tekstil bermotif batik (batik “printing”/batik palsu), maka menurut saya, Anda turut membunuh para pengrajin batik sesungguhnya!

Ketujuh. Bila Anda membeli kain tekstil bermotif batik (batik “printing”/batik palsu), maka menurut saya, Anda turut mendukung pencemaran lingkungan. Sebab limbah buangan tinta sablon yang dihasilkannya.

Delapan. Mengapa batik dikatakan sebagai “warisan budaya tak benda”? Mengapa batik bernilai cukup mahal? Itu bukan karena kainnya!

Melainkan karena hal-hal yang mengiringi proses pembuatan serta filosofinya.

Zaman dahulu, para pembuat batik melakukan ritual tertentu dalam menyelesaikan satu helai mori untuk dibatik. Bahkan ada yang sambil berpuasa selama menyelesaikan batikannya.

Belum lagi, masing-masing motif batik memiliki arti kegunaan tersendiri. Sehingga pemakaiannya pun tidak sembarangan. Motif batik yang dikenakan oleh raja berbeda dengan motif yang dikenakan prajurit. Begitu juga perbedaan motif yang dikenakan saat acara kelahiran, pernikahan, sakit sampai kematian seseorang. Tidak asal-asalan.

Baca tulisan lain : Dear, Wanita. Tetaplah Bekerja!

Dan masih banyak hal-hal di luar kebendaan yang menjadikan batik sebagai warisan luhur. Ingat, zaman dahulu batik dianggap teman kehidupan. Selalu menyelimuti tubuh seseorang dari kelahiran hingga kematian.

Jadi pastikan, saat membeli batik, jangan lupa tanyakan arti motifnya. Jangan sampai, motif yang biasa dipakai untuk menutupi tubuh orang meninggal, kita pakai untuk acara pernikahan! 

Sembilan. Saat batik di elu-elukan hingga mengharumkan nama bangsa di kancah internasional, pernahkah Anda tahu berapa besaran upah nenek-nenek yang tekun membatik dengan canthingnya sebagai pekerja di rumah para produsen batik?

Ah, sudahlah. Saya katakan saja bahwa upahnya di bawah standar!

Sudah di bawah standar, masih disebut “buruh” batik pula. Padahal, merekalah pengrajin batik sesungguhnya. Hasil karya tangannya dijual mahal, sedangkan pendapatannya? Mengenaskan!

Baca tulisan lain : Catatan untuk Wanita Lemah!

Sepuluh. Anda tahu berapa jumlah pembuat canthing cap di salah satu wilayah dengan julukan sebagai “Kota Batik” saat ini? Ironis!

Saat terakhir kali saya mengadakan pelatihan pembuatan canthing cap sekitar tahun 2009 atau 2010, jumlahnya hanya ada tujuh pengrajin saja. Itu pun usia mereka sudah sangat tua. Kakek-kakek.

Berdoa saja, semoga ada peralihan keahlian dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya. Meski ironisnya, regenerasi pembuat canthing sangat kurang diperhatikan. Sehingga kemampuan membuat canting sebagai alat membatik, dikhawatirkan ikut terkubur bersama para leluhur.

Sepertinya, perkembangan zaman lebih menarik perhatian generasi milenial, dibanding harus memukul-mukul tembaga dan kuningan untuk menciptakan stempel-stempel pelestari budaya nan agung yaitu batik.

Sebelas. Meski hanya segelintir, namun perkembangan teknologi dan kreativitas sempat melahirkan beberapa generasi muda, yang mengembangkan batik dengan sentuhan teknologi modern. Ada yang menciptakan canthing elektrik, ada pula yang menciptakan motif batik fractal mengacu rumus-rumus algoritma matematika tertentu. Coba cari di google, ketik batik fractal dan canthing elektrik. Supaya paham.

Dua belas. Anda tahu di mana Kota Batik? Saya sendiri bingung. Karena julukan tersebut pernah menjadi rebutan. Sudahlah, batik milik bersama. Jangan politisir untuk urusan budaya.

Menurut grup band Slank sih, Kota Batik di Pekalongan. Bukan Jogja juga bukan Solo. Entah lagu itu berdasar penelusuran fakta sejarah yang mendalam, atau hanya karena salah satu personilnya ada ikatan batin dengan kota tersebut. Sila tanya pada rumput yang bergeol.

Baca tulisan lain : Kalau Sekadar Latah, Pakai Bahasa Indonesia Saja!

Tiga belas. Apakah Anda berpikir, bahwa dengan sudah diakui oleh UNESCO, maka batik kita menjadi aman untuk diakui lagi oleh negara lain??

Mungkin Anda belum pernah tahu. Berapa banyak pengrajin batik kita rela meninggalkan negeri ini demi mendapat kesejahteraan di luar negeri. Mereka rela menjadi buruh di negeri tetangga, membatik di sana, sebab tidak mendapat upah yang layak dari majikan saat membatik di negeri sendiri.

Selain itu, perlu saya sampaikan. Bahwa pengakuan UNESCO bahwa batik adalah milik Indonesia, itu hanya sebatas pada batik tulis saja. Bukan pada batik cap maupun batik kombinasi. Bagaimana ancaman terhadap batik cap dan kombinasi? Kita tunggu saja pena zaman akan menuliskannya

“Save Our Batik”, “Aku Cinta Batik!” dan lain-lain, sepatutnya jangan hanya digemborkan saat kita kebakaran jenggot karena batik pernah diklaim oleh negeri tetangga. Koreksi diri dahulu seberapa kuat kita menjaganya.

Selamat Hari Batik Nasional!

Saya pernah bangga, karena turut berpartisipasi dalam penetapan harinya.

Kriiik,…Kriiik,…Kriiik,…

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.